Sketsa Pendidikan Masa Depan
Inilah
yang harus dibenahi ! mengembangkan pendidikan masa depan yaitu pendidikan yang
dapat memahami karakteristik anak, mengembangkan potensinya dan menjadikan
generasi yang cerdas, bertaqwa, dan bermartabat.
Hingga saat ini bangsa Indonesia
masih merupakan bangsa yang belum diperhitungkan di kancah internasional.
Generasi bangsa pada dewasa ini masih belum menunjukkan generasi yang mampu
bersaing dengan negara-negara maju. Bahkan kita sering melihat di media massa
maupun media elektronik bahwa generasi bangsa kita justru mengalami kemunduran
baik spiritual, emotional, maupun inteleqtual. Perilaku generasi bangsa yang
menyimpang dari norma agama maupun norma negara antara lain tawuran antar
pelajar, perkelahian antar warga, konflik antar agama, traficking anak di bawah
umur, sungguh memprihatinkan. Kejadian-kejadian tersebut menunjukkan indikasi
rendahnya mental, spiritual, dan wawasan generasi bangsa. Jika hal ini
dibiarkan terus berlarut-larut maka menjadi hal yang bukan mustahil bahwa kelak
bangsa Indonesia akan menjadi bangsa di bawah kendali bangsa lain. Apakah kita
terlambat membenahi generasi bangsa ? tidak, keterlambatan masih dapat dikejar
selama semuanya ditangani dengan serius. Apakah yang harus dibenahi terlebih
dahulu untuk menjadikan generasi bangsa yang cerdas dan berakhlak? Generasi
bangsa di masa mendatang, masa sekarang, ataupun masa lalu merupakan hasil dari
proses pendidikan, maka ujung tombak pembentukan generasi bangsa adalah
pendidikan. Jadi hal utama dan pertama yang harus dibenahi adalah
pendidikannya. Pendidikan yang bagaimanakah yang dapat menghasilkan generasi
bangsa yang cerdas dan berakhlak? Marilah kita amati dan kita pahami bersama
pendidikan di Indonesia saat ini. Banyak kita temui berita-berita di media
massa maupun media elektronik tentang kejadian pelajar yang melanggar norma
agama maupun norma negara. Jika kita jujur sebenarnya perilaku para peserta
didik tersebut akibat dari kopensasi ketidakmampuan peserta didik di dunia
pendidikan, ketidakmampuan peserta didik untuk mengikuti dan beradaptasi dengan
ilmu pengetahuan. Apakah ketidakmampuan peserta didik untuk beradaptasi dengan
dunia pendidikan yang notabene merupakan dunia ilmu pengetahuan adalah memang
dikarenakan ketidakmampuannya sebagai seorang manusia ataukah karena dunia
pendidikan kita yang tidak dapat menempatkan peserta didik sebagai manusia.
Yang jelas menurut ilmu makhluk hidup bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
beradaptasi dimanapun dan memiliki kemampuan untuk mempelajari ilmu pengetahuan
karena Allah telah menempatkan manusia sebagai hamba-Nya yang sempurna yaitu
memiliki akal, berarti dunia pendidikan kita tidak dapat menempatkan manusia
sebagai manusia. Inilah yang harus dibenahi ! mengembangkan pendidikan masa depan
yaitu pendidikan yang dapat memahamin karakteristik anak, mengembangkan
potensinya dan menjadikan generasi yang cerdas, bertaqwa, dan bermartabat.
Dalam istilah Chatif Munif adalah sekolahnya manusia. Pendidikan yang bagaimanakah
yang memanusiakan manusia? Pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi diri
secara holistik yang menyentuh segala aspek diri peserta didik yaitu ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor. Hingga dewasa ini di dalam dunia penididikan
masih terlalu dominan pada ranah kognitif yang dikembangkan, barangkali hal ini
masih dipengaruhinya oleh teori psikologi bahwa unsur IQ yang akan menentukan
keberhasilan seseorang. Padahal di abad 20-an hal tersebut sudah dibantah oleh
teori psikologi lainnya bahwa kesuksesan seseorang bukan semata-mata karena IQ
yang tinggi, namun lebih pada SQ dan EQ yang tinggi. Inilah yang belum
dikembangkan oleh dunia pendidikan, bahwa SQ dan EQ peserta didik yang akan
menentukan generasi mendatang. Mengembangkan SQ dan EQ peserta didik memang
bukanlah hal yang sangat mudah karena banyak faktor yang harus dibenahi, mulai
dari sandar isi, kurikulum, proses, tenaga pendidik dan kependidikan,
sarana-prasarana, serta yang tak kalah penting adalah pembiayaan pada
pendidikan. Hingga saat ini kita masih merasakan bahwa generasi kita di sekolah
masih dijejali dengan penegtahuan yang sifatnya kognitif. Kurikulum di negara
kita sering kali berganti sampai masyarakat awam berpendapat bahwa bergantinya
menteri pendidikan maka akan berpengaruh terhadap bergantinya kurikulum pendidikan.
Hal ini jika dibiarkan
berlarut-larut maka akan membentuk generasi bangsa yang pandai menghafal namun
tidak pandai mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyelesaikan
masalah. Salah satu alternatif agar pendidikan kita dapat mengoptimalkan potensi
peserta didik sehingga peserta didik dapat mengaplikasikan ke dalam kehidupan
sehari-hari adalah dengan cara memberikan pendidikan yang holistik kepada
peserta didik yaitu mengembangkan semua potensinya, meminimalkan kelemahannya,
mengoptimalkan spiritual, sosial, dan skillnya. Untuk membangun pendidikan yang
ideal dan menghasilkan generasi bangsa yang unggul yang harus diperhatikan
adalah pemahaman karakteristik peserta didik, memberikan pembelajaran sesuai
dengan potensi dan kelemahan peserta didik, membentuk karakter peserta didik
dengan cara pembiasaan baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan
masyarakat. Pendidikan karakter yang dibangun
melalui keteladanan dalam hidup dan kehidupan. Setelah memberikan keteladanan
maka karakter tersebut akan menjadi kebiasaan sehingga akan terwujud budaya
dalam peradaban masyarakat. Lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat maupun
negara adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ketiganya harus saling
mendukung, memberikan support untuk melaksanakan visi besar menjadikan generasi
bangsa yang memiliki karakter terpuji. Guru sebagai pendidik karakter di
sekolah harus dapat memberikan keteladanan selama berada di lingkungan sekolah
maupun di luar sekolah. Keteladanan guru tersebut ditunjukkan dengan cara berbicara,
berpakaian, menghargai orang lain, menerima pendapat orang lain, kejujuran,
tanggung jawab, kedisiplinan, sabar, dll. Karakter tersebut di samping
ditunjukkan melalui keteladanan juga diterapkan dalam kehidupan di sekolah dan
dalam proses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar bahkan guru
mempraktikan melalui pembelajaran, bagaimana berdiskusi menghargai pendapat
orang lain, bagaimana menghargai kekurangan orang lain, bagaimana berdemokrasi
dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut hampir setiap hari dan setiap waktu
guru memberikan keteladanan. Bahkan di dalam kehidupan sekolah guru sudah
sangat menyadari dan memahami bahwa pembentukan karakter tidak dapat dilakukan
hanya melalui paksaan, penjelasan, aturan-aturan belaka atau reward-reward sesaat,
karena hal ini hanya melahirkan pemampatan batas-batas peranan, namun
pembentukan karakter harus melalui keteladan, pembiasaan, praktik dalam
kehidupan masyarakat kecil atau sekolah. Yang terjadi saat ini adalah
ketidaksesuaian antara yang dilakukan guru di sekolah dengan orang tua murid. Bagaimana
seharusnya orang tua melakukannya? Keluarga atau orang tua serta saudara adalah
lingkungan kecil yang memiliki peranan penting dalam pembentukan karakter anak
selain di sekolah. Ibu, Ayah, Kakak atau saudara lainnya adalah contoh nyata di
hadapan anak-anak yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi kepribadiannya.
Untuk itu pola kehidupan di rumah haruslah selaras dengan kehidupan di sekolah.
Hal ini bukan berarti orang tua di rumah belum menerapkan atau memberikan
keteladana kepada anak mengenai karakter yang terpuji. Namun masih banyak
ditemui bahwa justru karakter buruk anak diperoleh dari rumahnya. Jika
pembentukan karakter anak di rumah selaras dengan pembentukan karakter di
sekolah maka anak akan merasakan bahwa kehidupan di sekolah merupakan bagian
dari kehidupan di rumah begitu juga sebaliknya. Sekolah merupakan rumah
keduanya begitu juga rumah merupakan sekolah bagi dirinya. Jika pembiasaan
seperti ini berlangsung secara kontinu maka kepribadian anak akan terbentuk
dengan baik. Namun tidak sedikit hubungan sekolah dengan rumah terputus. Yang
terjadi adalah lingkungan sekolah bukan bagian dari lingkungan rumah, persepsi
ini timbul pada diri anak karena merasakan perbedaan yang terjadi pada dua lingkungan
tersebut. Suatu misal di rumah anak sering melihat kedua oarng tuanya
bertengkar, mengeluarkan kata-kata kotor, sering menghakimi saudaranya, berlaku
keras terhadap diri anak, memberikan perintah tanpa penjelasan, tidak pernah
meminta pendapat anak bahkan yang lebih parah melihat orang tuanya berlaku
menyimpang norma masyarkat, agama, dan negara. Bukan hanya sekedar itu orang
tua tidak pernah ada waktu untuk sekedar menanyakan keadaan anak selama di
sekolah, orang tua terlalu sibuk denga pekerjaanya, bagi yang berekonomi high
sibuk dengan meetingnya, sedangkan bagi yang berekonomi sulit sibuk bekerja
mencari sesuap nasi. Dari keadaan tersebut anak merasa bahwa dirinya seorang
diri, tidak ada yang mau peduli, tidak ada yang dapat memberikan keteladanan di
rumah, sehingga persepsi anak bahwa keteladanan di sekolah hanya sebatas
kehidupan di sekolah sebagai pelajar setelah di luar sekolah terserah dirinya.
Akhirnya yang terjadi anak berperilaku menyimpang norma masyarakat, agama, dan
negara. Mereka mencari komunitas yang dapat menghargai, menerima dan mengayomi
mereka selama di luar sekolah. Mereka memilih komunitas menurut kesenangan
mereka tetapi tidak melihat bahwa komunitas yang dipilih adalah komunitas
anak-anak yang berkarakter tidak terpuji.
Fenomena generasi bangsa yang
memprihatikan tersebut maka pendidikan harus menyeimbangkan ktiga unsur yaitu
sekolah, keluarga/masyarakat, dan pememrintah. Guru, orang tua dan pemerintah
adalah stake holder pendidikan. Tiga komponen tersebut tidak dapat dipisahkan dan
harus saling terkait dan mendukung. Jika ketiga komponen memiliki cara pendang
yang berbeda terhadap pendidikan anak, maka yang terjadi adalah komponen
tersebut bekerja sendiri-sendiri sesuai dengan tugas masing-masing. Sehingga
ketiga komponen memiliki pendapat bahwa mereka bukan satu kesatuan tetapi
bebeda-beda dengan tugas, tujuan yang berbeda. Kalau hal ini dibiarkan
terus-menerus maka pendidikan di negeri ini akan semakin parah, generasi bangsa
ke depan akan menjadi generasi gelandangan yang hanya dapat memalak. Negara ini
akan berada pada masa yang lebih edan. Untuk itu tiga solusi alternatif yang
dapat saya ajukan adalah :
Kesatu,
Guru dan orang tua murid harus memiliki visi dan misi yang sama dalam
pendidikan anak. Dalam hal ini sekolah secara kontinu dan periodik mengadakan
pertemuan dengan orang tua murid untuk membicarakan pendidikan dan perkembangan
anak. Pertemuan sekolah dan orang tua murid dapat berupa menyampaikan
perkembangan anak, seminar/parenting pendidikan anak, atau konsultasi permasalahan
anak.
Kedua, orang
tua murid harus terlibat aktif dalam pertemuan dengan sekolah dengan selalu
hadir, mengikuti dan melaksanakan hal-hal yang didapat dari pertemuan di
sekolah. Jika ada permasalahan menyangkut perkembangan anak, orang tua murid
segera berkonsultasi dengan guru untuk bersama-sama mencari solusi dari
permasalahan tersebut. Solusi yang di dapat oleh orang tua murid dan guru dapat
dilaksanakan secara bersama-sama baik di lingkungan sekolah maupun di rumah.
Ketiga, Pemerintah harus membuat sistem pendidikan
yang dapat mengembangkan kognitif, spiritual-sosial, dan skill peserta didik
secara seimbang dan optimal. Kurikulum pendidikan adalah kurikulum yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam jangka waktu yang cukup lama bukan kuirkulum yang
gonta-ganti dnegan gantinya menteri pendidikan. Saya khawatir bahwa bergantinya
kurikulum itu berkaitan dengan penggunaan anggaran negara atau adanya
kepentingan politik disamping prestise menteri pendidikan. Jika
dilatarbelakangi hal ini sungguh miris dunia pendidikan kita, Sanggupkah dunia
pendidikan negara kita menjadi independen?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar