Minggu, 11 Oktober 2015

Sketsa Pendidikan Masa Depan



Sketsa Pendidikan Masa Depan

Inilah yang harus dibenahi ! mengembangkan pendidikan masa depan yaitu pendidikan yang dapat memahami karakteristik anak, mengembangkan potensinya dan menjadikan generasi yang cerdas, bertaqwa, dan bermartabat.

Hingga saat ini bangsa Indonesia masih merupakan bangsa yang belum diperhitungkan di kancah internasional. Generasi bangsa pada dewasa ini masih belum menunjukkan generasi yang mampu bersaing dengan negara-negara maju. Bahkan kita sering melihat di media massa maupun media elektronik bahwa generasi bangsa kita justru mengalami kemunduran baik spiritual, emotional, maupun inteleqtual. Perilaku generasi bangsa yang menyimpang dari norma agama maupun norma negara antara lain tawuran antar pelajar, perkelahian antar warga, konflik antar agama, traficking anak di bawah umur, sungguh memprihatinkan. Kejadian-kejadian tersebut menunjukkan indikasi rendahnya mental, spiritual, dan wawasan generasi bangsa. Jika hal ini dibiarkan terus berlarut-larut maka menjadi hal yang bukan mustahil bahwa kelak bangsa Indonesia akan menjadi bangsa di bawah kendali bangsa lain. Apakah kita terlambat membenahi generasi bangsa ? tidak, keterlambatan masih dapat dikejar selama semuanya ditangani dengan serius. Apakah yang harus dibenahi terlebih dahulu untuk menjadikan generasi bangsa yang cerdas dan berakhlak? Generasi bangsa di masa mendatang, masa sekarang, ataupun masa lalu merupakan hasil dari proses pendidikan, maka ujung tombak pembentukan generasi bangsa adalah pendidikan. Jadi hal utama dan pertama yang harus dibenahi adalah pendidikannya. Pendidikan yang bagaimanakah yang dapat menghasilkan generasi bangsa yang cerdas dan berakhlak? Marilah kita amati dan kita pahami bersama pendidikan di Indonesia saat ini. Banyak kita temui berita-berita di media massa maupun media elektronik tentang kejadian pelajar yang melanggar norma agama maupun norma negara. Jika kita jujur sebenarnya perilaku para peserta didik tersebut akibat dari kopensasi ketidakmampuan peserta didik di dunia pendidikan, ketidakmampuan peserta didik untuk mengikuti dan beradaptasi dengan ilmu pengetahuan. Apakah ketidakmampuan peserta didik untuk beradaptasi dengan dunia pendidikan yang notabene merupakan dunia ilmu pengetahuan adalah memang dikarenakan ketidakmampuannya sebagai seorang manusia ataukah karena dunia pendidikan kita yang tidak dapat menempatkan peserta didik sebagai manusia. Yang jelas menurut ilmu makhluk hidup bahwa manusia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dimanapun dan memiliki kemampuan untuk mempelajari ilmu pengetahuan karena Allah telah menempatkan manusia sebagai hamba-Nya yang sempurna yaitu memiliki akal, berarti dunia pendidikan kita tidak dapat menempatkan manusia sebagai manusia. Inilah yang harus dibenahi ! mengembangkan pendidikan masa depan yaitu pendidikan yang dapat memahamin karakteristik anak, mengembangkan potensinya dan menjadikan generasi yang cerdas, bertaqwa, dan bermartabat. Dalam istilah Chatif Munif adalah sekolahnya manusia. Pendidikan yang bagaimanakah yang memanusiakan manusia? Pendidikan yang mengembangkan seluruh potensi diri secara holistik yang menyentuh segala aspek diri peserta didik yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Hingga dewasa ini di dalam dunia penididikan masih terlalu dominan pada ranah kognitif yang dikembangkan, barangkali hal ini masih dipengaruhinya oleh teori psikologi bahwa unsur IQ yang akan menentukan keberhasilan seseorang. Padahal di abad 20-an hal tersebut sudah dibantah oleh teori psikologi lainnya bahwa kesuksesan seseorang bukan semata-mata karena IQ yang tinggi, namun lebih pada SQ dan EQ yang tinggi. Inilah yang belum dikembangkan oleh dunia pendidikan, bahwa SQ dan EQ peserta didik yang akan menentukan generasi mendatang. Mengembangkan SQ dan EQ peserta didik memang bukanlah hal yang sangat mudah karena banyak faktor yang harus dibenahi, mulai dari sandar isi, kurikulum, proses, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana-prasarana, serta yang tak kalah penting adalah pembiayaan pada pendidikan. Hingga saat ini kita masih merasakan bahwa generasi kita di sekolah masih dijejali dengan penegtahuan yang sifatnya kognitif. Kurikulum di negara kita sering kali berganti sampai masyarakat awam berpendapat bahwa bergantinya menteri pendidikan maka akan berpengaruh terhadap bergantinya kurikulum pendidikan. Hal ini jika dibiarkan berlarut-larut maka akan membentuk generasi bangsa yang pandai menghafal namun tidak pandai mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyelesaikan masalah. Salah satu alternatif agar pendidikan kita dapat mengoptimalkan potensi peserta didik sehingga peserta didik dapat mengaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari adalah dengan cara memberikan pendidikan yang holistik kepada peserta didik yaitu mengembangkan semua potensinya, meminimalkan kelemahannya, mengoptimalkan spiritual, sosial, dan skillnya. Untuk membangun pendidikan yang ideal dan menghasilkan generasi bangsa yang unggul yang harus diperhatikan adalah pemahaman karakteristik peserta didik, memberikan pembelajaran sesuai dengan potensi dan kelemahan peserta didik, membentuk karakter peserta didik dengan cara pembiasaan baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Pendidikan karakter yang dibangun melalui keteladanan dalam hidup dan kehidupan. Setelah memberikan keteladanan maka karakter tersebut akan menjadi kebiasaan sehingga akan terwujud budaya dalam peradaban masyarakat. Lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat maupun negara adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ketiganya harus saling mendukung, memberikan support untuk melaksanakan visi besar menjadikan generasi bangsa yang memiliki karakter terpuji. Guru sebagai pendidik karakter di sekolah harus dapat memberikan keteladanan selama berada di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Keteladanan guru tersebut ditunjukkan dengan cara berbicara, berpakaian, menghargai orang lain, menerima pendapat orang lain, kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, sabar, dll. Karakter tersebut di samping ditunjukkan melalui keteladanan juga diterapkan dalam kehidupan di sekolah dan dalam proses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar bahkan guru mempraktikan melalui pembelajaran, bagaimana berdiskusi menghargai pendapat orang lain, bagaimana menghargai kekurangan orang lain, bagaimana berdemokrasi dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut hampir setiap hari dan setiap waktu guru memberikan keteladanan. Bahkan di dalam kehidupan sekolah guru sudah sangat menyadari dan memahami bahwa pembentukan karakter tidak dapat dilakukan hanya melalui paksaan, penjelasan, aturan-aturan belaka atau reward-reward sesaat, karena hal ini hanya melahirkan pemampatan batas-batas peranan, namun pembentukan karakter harus melalui keteladan, pembiasaan, praktik dalam kehidupan masyarakat kecil atau sekolah. Yang terjadi saat ini adalah ketidaksesuaian antara yang dilakukan guru di sekolah dengan orang tua murid. Bagaimana seharusnya orang tua melakukannya? Keluarga atau orang tua serta saudara adalah lingkungan kecil yang memiliki peranan penting dalam pembentukan karakter anak selain di sekolah. Ibu, Ayah, Kakak atau saudara lainnya adalah contoh nyata di hadapan anak-anak yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi kepribadiannya. Untuk itu pola kehidupan di rumah haruslah selaras dengan kehidupan di sekolah. Hal ini bukan berarti orang tua di rumah belum menerapkan atau memberikan keteladana kepada anak mengenai karakter yang terpuji. Namun masih banyak ditemui bahwa justru karakter buruk anak diperoleh dari rumahnya. Jika pembentukan karakter anak di rumah selaras dengan pembentukan karakter di sekolah maka anak akan merasakan bahwa kehidupan di sekolah merupakan bagian dari kehidupan di rumah begitu juga sebaliknya. Sekolah merupakan rumah keduanya begitu juga rumah merupakan sekolah bagi dirinya. Jika pembiasaan seperti ini berlangsung secara kontinu maka kepribadian anak akan terbentuk dengan baik. Namun tidak sedikit hubungan sekolah dengan rumah terputus. Yang terjadi adalah lingkungan sekolah bukan bagian dari lingkungan rumah, persepsi ini timbul pada diri anak karena merasakan perbedaan yang terjadi pada dua lingkungan tersebut. Suatu misal di rumah anak sering melihat kedua oarng tuanya bertengkar, mengeluarkan kata-kata kotor, sering menghakimi saudaranya, berlaku keras terhadap diri anak, memberikan perintah tanpa penjelasan, tidak pernah meminta pendapat anak bahkan yang lebih parah melihat orang tuanya berlaku menyimpang norma masyarkat, agama, dan negara. Bukan hanya sekedar itu orang tua tidak pernah ada waktu untuk sekedar menanyakan keadaan anak selama di sekolah, orang tua terlalu sibuk denga pekerjaanya, bagi yang berekonomi high sibuk dengan meetingnya, sedangkan bagi yang berekonomi sulit sibuk bekerja mencari sesuap nasi. Dari keadaan tersebut anak merasa bahwa dirinya seorang diri, tidak ada yang mau peduli, tidak ada yang dapat memberikan keteladanan di rumah, sehingga persepsi anak bahwa keteladanan di sekolah hanya sebatas kehidupan di sekolah sebagai pelajar setelah di luar sekolah terserah dirinya. Akhirnya yang terjadi anak berperilaku menyimpang norma masyarakat, agama, dan negara. Mereka mencari komunitas yang dapat menghargai, menerima dan mengayomi mereka selama di luar sekolah. Mereka memilih komunitas menurut kesenangan mereka tetapi tidak melihat bahwa komunitas yang dipilih adalah komunitas anak-anak yang berkarakter tidak terpuji.
Fenomena generasi bangsa yang memprihatikan tersebut maka pendidikan harus menyeimbangkan ktiga unsur yaitu sekolah, keluarga/masyarakat, dan pememrintah. Guru, orang tua dan pemerintah adalah stake holder pendidikan. Tiga komponen tersebut tidak dapat dipisahkan dan harus saling terkait dan mendukung. Jika ketiga komponen memiliki cara pendang yang berbeda terhadap pendidikan anak, maka yang terjadi adalah komponen tersebut bekerja sendiri-sendiri sesuai dengan tugas masing-masing. Sehingga ketiga komponen memiliki pendapat bahwa mereka bukan satu kesatuan tetapi bebeda-beda dengan tugas, tujuan yang berbeda. Kalau hal ini dibiarkan terus-menerus maka pendidikan di negeri ini akan semakin parah, generasi bangsa ke depan akan menjadi generasi gelandangan yang hanya dapat memalak. Negara ini akan berada pada masa yang lebih edan. Untuk itu tiga solusi alternatif yang dapat saya ajukan adalah :
Kesatu, Guru dan orang tua murid harus memiliki visi dan misi yang sama dalam pendidikan anak. Dalam hal ini sekolah secara kontinu dan periodik mengadakan pertemuan dengan orang tua murid untuk membicarakan pendidikan dan perkembangan anak. Pertemuan sekolah dan orang tua murid dapat berupa menyampaikan perkembangan anak, seminar/parenting pendidikan anak, atau konsultasi permasalahan anak.
Kedua, orang tua murid harus terlibat aktif dalam pertemuan dengan sekolah dengan selalu hadir, mengikuti dan melaksanakan hal-hal yang didapat dari pertemuan di sekolah. Jika ada permasalahan menyangkut perkembangan anak, orang tua murid segera berkonsultasi dengan guru untuk bersama-sama mencari solusi dari permasalahan tersebut. Solusi yang di dapat oleh orang tua murid dan guru dapat dilaksanakan secara bersama-sama baik di lingkungan sekolah maupun di rumah.
Ketiga,  Pemerintah harus membuat sistem pendidikan yang dapat mengembangkan kognitif, spiritual-sosial, dan skill peserta didik secara seimbang dan optimal. Kurikulum pendidikan adalah kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan dalam jangka waktu yang cukup lama bukan kuirkulum yang gonta-ganti dnegan gantinya menteri pendidikan. Saya khawatir bahwa bergantinya kurikulum itu berkaitan dengan penggunaan anggaran negara atau adanya kepentingan politik disamping prestise menteri pendidikan. Jika dilatarbelakangi hal ini sungguh miris dunia pendidikan kita, Sanggupkah dunia pendidikan negara kita menjadi independen?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar