Minggu, 24 September 2017

MEMBUMIKAN LITERASI DENGAN GEBYAR

MEMBUMIKAN LITERASI DENGAN GEBYAR
(Kisah Gebyar Literasi di SD Luqman Al Hakim Surabaya)
Oleh : Heri Murtomo

Senyumnya yang mengembang ikut menghiasi langkah kakinya menuju ke atas panggung ketika pembawa acara gebyar literasi memanggilnya. Itulah perwakilan dari Panti Asuhan BJ Habibie yang berada di Keputih Surabaya yang merupakan salah satu dari tiga panti asuhan yang menerima sedekah buku dari SD Luqman Al Hakim Surabaya. Sedekah buku yang dilakukan ini adalah salah satu upaya untuk membumikan dan memasyarakatkan literasi sehingga akan terbangun budaya literasi pada generasi dan masyarakat Indonesia. Sedekah buku ini dapat terwujud karena tak lepas dari dukungan orang tua murid sangat besar terhadap kegiatan ini. Penyerahan sedekah buku ini dilakukan pada saat acara gebyar literasi.
Gebyar literasi adalah salah satu kegiatan yang dilakukan SD Luqman Al Hakim Surabaya untuk membumikan dan membangun budaya literasi kepada masyarakat. Kegiatan seperti ini sudah dilakukan sejak tahun 2015.
Di SD Luqman Al Hakim Surabaya program literasi sudah berjalan dan membudaya. Hal ini terlihat dari beberapa program perpustakaannya yang mengarah kepada membangun budaya literasi. Perpustakaan SD Luqman Al Hakim Surabaya memiliki beberapa program meliputi Sirkulasi merupakan program peminjaman buku pada jam istirahat. Pada saat tersebut siswa-siswi akan memanfaatkan untuk meminjam buku ke perpustakaan. Jenis buku yang dipinjam siswa-siswi pun beraneka macam dari cerita fiksi, non fiksi, maupun ilmu pengetahuan lainnya. Antusias siswa-siswi sangat tinggi terlihat dari banyaknya pengunjung setiap hari  mencapai 100 peminjam dari 592 siswa. Library class salah satu program pembelajaran untuk mengenalkan kepada siswa mengenai seluk-beluk perpustakaan dan menjadi pustakawan yang baik. Dari program Library class ini diharapkan siswa memahami tentang pentingnya perpustakaan sehingga dapat memanfaatkan dan memiliki etika ketika berada di perpustakaan. Book of this month adalah program yang digagas perpustakaan untuk menarik minat baca siswa. Program ini adalah menginformasikan kepada siswa mengenai buku baru yang ada di perpustakaan dan diterbitkan dua kali dalam sebulan. Audio visual atau tontonan cerdas adalah bentuk literasi dalam bentuk tontonan. Siswa akan menonton bareng berbagai film mulai dari film agama, sains, dan umum yang sudah terjadwal untuk setiap kelas. Perpustakaan SD luqman Al Hakim juga memberikan apresiasi kepada para siswa dan guru dalam bentuk Award untuk kategori siswa dan guru.
Disamping perpustakaaan yang ada, di setiap kelas juga terdapat perpustakaan kelas. Pepustakaan dikelola oleh guru kelas bersama dengan siswa. Perpustakaan ini terletak di pojok kelas dan beberapa buku ditata rapi pada rak buku dan siswa yang akan mengisi rak tersebut dengan buku bacaan mereka yang di bawa dari rumah. Dengan adanya peprustakaan kelas maka siswa yang tidak berkeinginan ke perpustakaan masih dapat memebaca buku-buku yang ada di perpustakaan kelas.
Pojok baca adalah salah satu program perpustakaan SD Luqman Al Hakim terbaru yang dicanangkan pada tahun 2016. Pojok baca ini diperuntukan bagi tamu maupun wali  murid yang datang ke sekolah. Pojok baca diletakkan di pojok ruang tamu yang berisi buku-buku bacaan yang disediakan oleh pihak sekolah. Pojok baca ini dikelola langsung oleh perpustakaan SD Luqman Al Hakim Surabaya. Perpustakaan SD Luqman Al Hakim ke depannya akan mengembangkan pojok baca ini menjadi pojok bacaan bagi tamu, wali murid maupun masyarakat.
Bukan hanya hanya bertumpu pada program perpustakaan untuk membangun budaya literasi di SD Luqman Al Hakim. Dalam proses pembelajaranpun tidak luput dari  budaya literasi, begitu juga untuk kegiatan ekstrakurikuler salah satunya adalah mendukung budaya literasi yaitu ekstrakurikuler Penulis Cilik (PeCi). Berbagai hasil tulisan siswa sudah ada yang dibukukan sebagi arsip perpustakaan SD Luqman Al Hakim Surabaya. Yang tidak kalah serunya adalah ada beberapa siswa SD Luqman Al Hakim Surabaya yang secara individu sudah menulis buku cerita dan menerbitkannya. Begitu juga antusias guru-guru, tulisan guru-gurupun dibukukan dan sebagai arsip perpustakaan SD Luqman Al Hakim Surabaya.
Dari program yang sudah dilakukan maka sekolah berkewajiban untuk memasyarakatkan atau istilahnya membumikan literasi kepada masyarakat. Sekolah berkeinginan agar literasi menjadi budaya bagi generasi bangsa dan masyarakat umumnya sesuai dengan program pemerintah. Untuk menunjang dan mengimplementasikan program tersebut maka sekolah mengadakan kegiatan gebyar literasi.
Gebyar literasi ini adalah kegiatan yang dilakukan oleh SD Luqman Al Hakim Surabaya bertujuan untuk membumikan dan memasyarakatkan budaya literasi kepada generasi dan masyarakat. Kegiatan ini sudah dilakukan oleh SD Luqman Al Hakim Surabaya sejak tahun 2015. Berbagai kegiatan yang dilakukan melibatkan siswa, guru, orang tua, masyarakat dan pemerintah kota Surabaya. Lomba untuk siswa dikemas dalam bentuk lomba individu, kelompok, dan antar kelas, sedangkan lomba untuk guru dikemas dalam bentuk membuat tulisan dan resensi buku. Untuk orang tua murid dilakukan lomba perpustakaan keluarga,kegiatan ini diikuti dengan sangat antusias oleh orang tua murid, sedangkan untuk masyarkat dengan memberikan bantuan buku kepada tiga panti asuhan di daerah sekitar sekolah.



Peran Orang Tua
Keberadaan perpustakaan yang semakin besar dengan berbagai programnya dan kegiatan literasi yang sukses dilakukan oleh SD Luqman Al Hakim Surabaya tidak lepas dari peran orang tua. Keterlibatan orang tua sangat berperan aktif untuk ikut menjadi salah satu  bagian dari program-program tersebut. Untuk memperbanyak buku bacaabn di perpustakaan, para orang tua memberikan kontribusi buku bacaan terutama bagi siswa kelas 6 pada saat akan lulus dengan senang hati siswa-siswi memberikan kenangan satu buku bacaan untuk pepustakaan SD Luqman Al Hakim yang sangat dicintainya. Harus diakui memang pihak sekolah juga selalu meningkatkan anggraan pengadaan buku bacaan di perpustakaan setiap tahunnya baik buku bacaan untuk guru maupun untuk siswa.
Pada saat acara gebyar literasi yang dilakukan sejak tahun 2015 peran orang tua sangat besar, dengan berbagai kontribusinya. Untuk kegiatan sedekah buku para orang tua menyumbangkan buku bacaan bahkan adanya yang menyumbangkan lebih dari satu buku bacaan. Antusias orang tua juga terlihat sangat besar saat dilakukan lomba untuk orang tua yaitu lomba mendongeng maupun lomba perpustakaan keluarga. Kehadiran seluruh orang tua pada kegiatan gebyar literasi merupakan support yang tak terhingga kepada SD Luqman Al Hakim Surabaya.
Disamping kontribusi dan peran orang tua tersebut yang tidak kalah besar perannya dalam kegiatan gebyar lietrasi adalah adanya sponsor bagi kegiatan tersebut. Para orang tua murid yang memiliki usaha dengan senang hati untuk ikut terlibat pada kegiatan tersebut dengan memberikan dukungan materiil sebagai sponsor. Bahkan orang tua murid yang memiliki hubungan dengan perusahaan lain pun bersedia untuk mengajak perusahaan tersebut ikut terlibat aktif memberikan dukungan kegiatan gebyar literasi sebagai sponsor.
Berbagai dukungan inilah yang menjadikan SD Luqman Al Hakim untuk terus melakukan upaya memasyarakatkan dan membumikan literasi agar menjadi budaya bagi generasi dan masyarakat. 
Disamping peran orang tua kegiatan literasi ini juga mendapatkan dukungan dari pemerintah kota.

Peran Pemerintah Kota
Komitmen pemerintah kota Surabaya dalam membudayakan literasi untuk masyarakat dan generasi menjadikan SD Luqman Al Hakim Surabaya untuk ikut  berperan aktif dalam program tersebut. Wujud nyata program yang dilakukan SD Luqman Al Hakim adalah dengan mengadakan kegiatan gebyar literasi. Namun jauh sebelum adanya kegiatan tersebut pemerintah daerah kota Surabaya sudah memberikan dukungan kepada SD Luqman Al Hakim dalam program literasi. Dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Surabaya adalah dengan menempatakan salah seorang pustakawan Badan Perpustakaan kota Surabaya untuk berdinas di perpustkaan SD Luqmna AL Hakim Surabaya. Dukungan ini sangat membantu perpustkaan SD Luqman AL Hakim dalam penataan manajemen dan pengembangannya. Disamping itu juga diberikan dukungan bantauan buku bacaan oleh pemerintah kota Surabaya  untuk perpustkaan SD Luqman Al Hakim Surabaya. Pada saat acara gebyar literasi Badan Perpustakaan kota Surabaya juga sangat mensupport dengan mengirimkan mobil bacaan keliling di lokasi kegiatan. Kehadiran Kepala Badan Perpustakaan Surabaya yang pada waktu itu Ibu Arini Pakistyaningsih, SH, MM. dan pejabat Dinas Pendidikan kota Surabaya pada acara gebyar literasi merupakan suatu dukungan yang sangat besar kepada SD Luqman Al Hakim Surabaya.
Dari dukungan pemerintah daerah ini perpustakaan SD Luqman Al Haikim Surabayapun berkembang dengan pesat sehingga pada tahun 2015 dan 2016 meraih juara 2 lomba perpustakaan SD se-kota Surabaya.
Membangun budaya literasi harus dilakukan secara bersama-sama dan saling memberikan dukungan antar elemen masyarakat. Bagi pihak sekolah untuk membangun budaya literasi yang dilakukan oleh guru dan siswa yang tidak kalah penting harus mengikutsertakan peran orang tua, masyarakat, dan pemerintah daerah. Jika hal ini dilakukan secara serasi, selaras dan berkesinambungan maka dalam waktu yang tidak lama budaya literasi akan terbentuk pada generasi bangsa. Pada era yang akan datang generasi bangsa akan menjadi generasi pembaca, kreatif, inovatif, terampil, unggul dan santun serta berakhlak karimah. Bangsa Indonesia akan menjadi semakin besar karena sudah terbangun budaya literasi, bagaimana menurut saudara…?  












Senin, 01 Mei 2017

URGENSI GURU MASA DEPAN (Membangun Generasi Unggul dan Beradab)

URGENSI GURU MASA DEPAN
Membangun Generasi Unggul dan Beradab
Oleh : HERI MURTOMO (Pendidik di Surabaya)

Ukuran keberhasilan peserta didik dapat dilihat dari pertambahan pengetahuannya, peningkatan keterampilannya, dan kemuliaan kepribadiannya. Disinilah peran guru harus menjadi role model (teladan), menjadi pendengar yang baik. Kalau guru mengajar dengan hati, murid akan mendengarkan dengan hati. Guru yang mengajar dengan cinta, murid pasti akan membalasnya dengan cinta. Guru yang pandai menghargai murid, murid pasti menghargai guru. Inilah yang akan dibangun pada generasi mendatang(M. Nuh, Menyemai Kreator Peradaban, 2014)


Perilaku generasi negeri ini pada akhir-akhir ini semakin menguatkan pandangan masyarakat mengenai karakter anak bangsa yang telah mengalami degradasi mental, spiritual, sikap, dan intelektual. Pendidikan dianggap telah gagal mendidik anak bangsa, karena pendidikanlah salah satu solusi yang dapat menyelesaikan persoalan membentuk karakter generasi bangsa. Pendidikan dipandang sebagai salah satu pintu untuk membentuk karakter anak. Karena di dunia pendidikanlah dianggap paling mudah membentuk dan memasukan unsur-unsur karakter kepribadian yang baik ke dalam jiwa anak-anak. Dengan adanya kurikulum baru tahun 2013 diharapkan mampu memberikan solusi untuk membentuk karakter anak didik dan menjadikan generasi unggul. Kurikulum ini oleh pencetusnya dinyatakan sebagai kurikulum karakter karena 70% berisi tentang pembentukan karakter diri anak didik. Salah satu yang melatar belakangi munculnya kurikulum 2013 adalah lunturnya karakter anak bangsa Indonesia. Karakter anak bangsa saat ini oleh sebagian besar masyarakat ditengarai sedang mengalami degradasi. Terbukti semakin maraknya perilaku para pelajar yang dengan tanpa beban melanggar norma agama dan norma negara, didukung perilaku para elite negara yang sudah sangat banyak tertangkap basah melakukan tindak korupsi. Hal yang terjadi tersebut di atas oleh masyarakat disebut sebagai hasil dari pendidikan di sekolah. Kondisi seperti ini harus segera di atasi dengan salah satu cara adalah pendidikan karakter bagi generasi bangsa. Pendidikan karakter memang sangat urgen bagi bangsa ini karena masa depan bangsa terletak pada generasi saat ini. Jika pendidikan di Indonesia tidak dapat membentuk karakter generasi yang baik maka yang akan terjadi adalah kehancuran bangsa. Karakter yang baik, menurut John Luther, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit – dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha keras (John Luther, dikutip dari Ratna Megawangi dalam Adian Husaini, 2010). Karakter memang laksana “otot” yang memerlukan latihan demi latihan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kekuatannya. Karena itu, pendidikan karakter memerlukan proses pemahaman, penanaman nilai, dan pembiasaan, sehingga seorang anak didik mencintai perbuatan baik. Contoh, untuk mendidik agar anak mencintai kebersihan, maka harus dilakukan pembiasaan hidup bersih dan diberikan pemahaman agar mereka mencintai kebersihan. Tentu, ini adalah cara yang baik dan memerlukan kesabaran dalam pendidikan (Adian Husaini, 2010).
Bahwa karakter anak dapat dibentuk melalui pemahaman, penanaman nilai dan pembiasaan, serta keteladanan maka hal yang paling mudah untuk memasukan unsur-unsur tersebut adalah proses pendidikan. Dengan sistem yang terencana, aktivitas yang terjadwal dan teratur serta komunitas anak yang seusia maka pendidikan karakter akan lebih mudah dilakukan di sekolah. Guru sebagai pendidik tidak hanya bertugas untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya namun guru harus dapat dijadikan teladan pembentukan karakter anak. Paradigma masyarakat bahwa guru adalah orang yang memiliki keteladanan dan dapat menjadikan anak didiknya untuk menjadi anak yang tumbuh dan kembang dengan karakter yang baik. Masyakat sepenuhnya mempercayakan dan menumpukan hal ini kepada guru sehingga kegagalan karakter anak bangsa merupakan kegagalan guru khususnya dan kegagalan pendidikan di sekolah.
Hingga saat ini dalam hidup dan kehidupan masyarakat, pendidikan karakter yang dipupuk pada anak belum mampu menciptakan kehidupan yang bermoral. Untuk menciptakan hidup dan kehidupan masyarakat yang bermoral bukan hanya sekedar membentuk karakter anak, sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim maka bangsa ini masih perlu membangun tidak sekedar karakter anak bangsa namun anak-anak bangsa yang beradab sehingga menjadikan masyarakat yang beradab. Inilah pentingnya pembentukan generasi yang bukan hanya berkarakter namun juga beradab. Bagi Muslim, berkarakter saja tidaklah cukup. Beda antara Muslim dengan non-Muslim – meskipun sama-sama berkarakter – adalah pada konsep adab. Yang diperlukan oleh kaum Muslim Indonesia bukan hanya menjadi seorang yang berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang berkarakter dan beradab. (Adian Husaini, 2010).
Pemahaman dan pengakuan tentang adab inilah yang membedakan seorang Muslim yang berkarakter dengan seorang komunis atau ateis yang berkarakter. Secara umum, pendidikan karakter yang digalakkan oleh pemerintah adalah baik. Tetapi, orang yang berkarakter saja, belum tentu beradab. Lihatlah, orang-orang Barat, banyak yang sangat peduli dengan kebersihan dan kerja keras, tetapi mereka tidak memandang jahat aktivitas bermabok-mabokan, bertelanjang, dan berbuat tidak senonoh.
Pakar filsafat Islam dan sejarah Melayu menjelaskan, bahwa, ”... adab itu sesungguhnya suatu kelakuan yang harus diamalkan atau dilakukan terhadap diri, dan yang berdasarkan pada ilmu, maka kelakuan atau amalan itu bukan sahaja harus ditujukan kepada sesama insani, bahkan pada kenyataan makhluk jelata, yang merupakan ma’lumat bagi ilmu.” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam Adian Husaini, 2010).
Orang beradab adalah yang dapat memahami dan mengakui sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah (Adian Husaini, 2010). Dalam kaitannya dengan pendidikan anak negeri ini maka di samping pembentukan karakter yang lebih utama adalah membangun adab pada diri anak, sehingga anak dapat mengaplikaiskan dalam kehidupan bermasyarakat. Jika kehidupan bermasyarakat dibangun dengan menegakan adab maka kehidupan masyarakat menjadi bermoral dan beradab. Di sekolah anak didik harus diberikan teladan dari hal-hal yang lebih khusus tentang bagaimana menegakan adab. Sebagai seorang pendidik kita harus memberikan pemahaman, penanaman nilai, pembiasaan, dan keteladanan tentang adab yang berkaitan dengan ilmu, guru, dan diri anak didik tersebut. Dari sinilah kita dapat mengetahui apakah proses pendidikan untuk menjadi generasi yang unggul dan beradab sesuai dengan amanat tujuan pendidikan telah berhasil?. Bagaimanakah cara agar tujuan pendidikan itu dapat tercapai?
Ukuran keberhasilan peserta didik dapat dilihat dari pertambahan pengetahuannya, peningkatan keterampilannya, dan kemuliaan kepribadiannya. Disinilah peran guru harus menjadi role model (teladan), mejadi pendengar yang baik. Kalau guru mengajar dengan hati, murid akan mendengarkan dengan hati. Guru yang mengajar dengan cinta, murid pasti akan membalasnya dengan cinta. Guru yang pandai menghargai murid, murid pasti menghargai guru. Inilah yang akan dibangun pada generasi mendatang(M. Nuh, Menyemai Kreator Peradaban, 2014). Seorang guru bukan hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, namun juga harus mendengarkan yang disampaiakn anak didiknya. Dalam proses pendidikan seorang guru wajib memberikan ilmu kepada anak didiknya dengan hati dan dengan cinta.
Jika di dalam diri anak didik sudah terbentuk dengan karakter dan adab yang baik, maka anak didik dalam kehidupan bermasyarakat akan menegakan moral dan adab. Namun harus diakui bahwa membentuk dan membangun anak negeri yang memiliki adab bukanlah persoalan hanya seorang guru dan lembaga pendidikan tapi ini adalah persoalan bersama masyarakat Indonesia. Untuk itu pembentukan karakter dan adab anak bangsa seyogyanya dilakukan bersama-sama antara orang tua sebagai masyarakat dan guru sebagai sekolah. Jika di sekolah telah dibentuk lingkungan dengan karakter dan adab yang baik namun pihak orang tua tidak mendukungnya justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan yang dilakukan sekolah yang terjadi adalah anak-anak bangsa akan menjadi anak-anak yang membahayakan karena mereka terbiasa dibentuk dalam dua dunia yang berbeda, di satu sisi memiliki perilaku dengan kebaikan namun di sisi lain perilakunya bertentangan. Untuk menjadikan anak negeri ini menjadi anak yang menegakan adab maka di negeri ini dibutuhkan guru-guru sejati. Mohammad Natsir dalam Adian Husaini 2010, percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Jika dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat sebagai orang dewasa kita dapat memberikan teladan yang baik maka anak negeri ini akan menjadi anak yang menegakan adab begitu sebaliknya. Pembentukan karakter dan adab yang baik pada diri anak dibutuhkan keteladanan dari para pemimpin bangsa, masyarakat, orang tua dan pendidik di sekolah.
Di dalam kitab karya KH. Hasyim Asy’ari berjudul Adab al-alim wa al-muta’allim fi ma yahtaj ilaih al-muta’allim fi ahwal ta’limihi wa ma yatawaqaf ‘alaih al-muta’allim fi maqamat ta’limihi sebelum memberikan ilmu kepada anak didik harus seorang guru harus memiliki etika-etika yang harus ditegakkan antara lain :
1.      Etika terhadap dirinya yaitu berhati-hati (wara’), tidak mempunyai sikap tinggi hati tetapi tawadhu’, konsentrasi(khusyu’), tidak terlalu memanjakan anak didik, tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara menyombongkannya, membiasakan diri menulis, mengarang, meringkas.
2.      Etika terhadap anak didik yaitu guru hendaknya memiliki keihlasan dalam mengajar, memberikan motivasi, memberikan kemudahan dalam proses pembelajaran, memahami kemampuan, dan memberikan latihan-latihan yang sifatnya membantu.
Dari pendapat di atas jika seorang guru dapat melakukan hal-hal tersebut maka peserta didik yang diharapkan untuk menjadi generasi yang unggul dan berakhlak baik akan terwujud.
Kisah David K. Hatch dalam everyday greatness (2007). Konon seorang profesor meneliti sebuah kampung kumuh. Ia berhipotesa bahwa anak yang hidup dikawasan yang kumuh hampir tidak ada yang akan suskes, mereka akan menjadi sampah masyarakat. Setelah berjalan 25 tahun, sang profesor kaget hasil surveinya bahwa dari 190 anak yang dulu diwawancarai hanya 4 orang yang masuk penjara, semua hidup normal dan hidup berhasil di berbagai bidang. Setelah dilakukan penelitian ulang, ternyata ada sebuah fenomena yang membuat profesor itu sadar. Dia menduga ada sosok dalam hidup mereka yang bisa mngubah kondisi umum ini. Hampir semua anak yang disurvei mengingat sosok guru SMP meereka, Bu Chysan.
Sang profesor menanyakan ke Bu Chysan, apa rahasianya bisa membawa perubahan hidup yang luar biasa bagi murid-muirdnya, Ia pun menjawab “yang saya tahu, saya banyak mendidik mereka dengan cinta, dan saya sangat mencintai mereka” (M. Nuh, Menyemai Kreator Peradaban, 2014).
Masih menurut M. Nuh bahwa dari kisah tersebut : (i) guru harus menjadi pembelajar sejati, (ii) guru harus bertanggung jawab terhadap materi yang diajarkan, (iii) guru haruslah membangun jembatan rasa antara dirinya dengan murid-muridnya, sehingga ada ikatan emosional.
Dari sinilah dapat dipahami bahwasannya guru memiliki peranan yang penting dalam proses pembentukan mental dan karakter generasi. Mungkin bagi seorang guru tidak menyadari bahwa mereka adalah inspirasi bagi anak didiknya. Untuk itulah diharapkan seorang guru harus dapat memberikan keteladanan dan mengajarkannya dengan penuh cinta dan kasih sayang bagi anak didiknya karena setiap kalimat, nasehat, dan peringatan yang disampaikan seorang guru secara tidak langsung akan membentuk kerpibadian anak didiknya. Di masa inilah anak didik merasakan kehausan akan kasih sayang dari seorang guru yang tulus yang mendidiknya dengan hati dan cinta, mereka sangat menyadari akan kegersangan hatinya dan hanya kepada gurunyalah mereka membuuthkan tuntunan.

Jika seorang guru dapat melakukannya dan menerapkan pendapat para ahli di atas maka proses pendidikan yang berlangsung akan dapat membentuk generasi yang unggul dan berakhlak mulia. Bagaimana menurut saudara?