Senin, 01 Mei 2017

URGENSI GURU MASA DEPAN (Membangun Generasi Unggul dan Beradab)

URGENSI GURU MASA DEPAN
Membangun Generasi Unggul dan Beradab
Oleh : HERI MURTOMO (Pendidik di Surabaya)

Ukuran keberhasilan peserta didik dapat dilihat dari pertambahan pengetahuannya, peningkatan keterampilannya, dan kemuliaan kepribadiannya. Disinilah peran guru harus menjadi role model (teladan), menjadi pendengar yang baik. Kalau guru mengajar dengan hati, murid akan mendengarkan dengan hati. Guru yang mengajar dengan cinta, murid pasti akan membalasnya dengan cinta. Guru yang pandai menghargai murid, murid pasti menghargai guru. Inilah yang akan dibangun pada generasi mendatang(M. Nuh, Menyemai Kreator Peradaban, 2014)


Perilaku generasi negeri ini pada akhir-akhir ini semakin menguatkan pandangan masyarakat mengenai karakter anak bangsa yang telah mengalami degradasi mental, spiritual, sikap, dan intelektual. Pendidikan dianggap telah gagal mendidik anak bangsa, karena pendidikanlah salah satu solusi yang dapat menyelesaikan persoalan membentuk karakter generasi bangsa. Pendidikan dipandang sebagai salah satu pintu untuk membentuk karakter anak. Karena di dunia pendidikanlah dianggap paling mudah membentuk dan memasukan unsur-unsur karakter kepribadian yang baik ke dalam jiwa anak-anak. Dengan adanya kurikulum baru tahun 2013 diharapkan mampu memberikan solusi untuk membentuk karakter anak didik dan menjadikan generasi unggul. Kurikulum ini oleh pencetusnya dinyatakan sebagai kurikulum karakter karena 70% berisi tentang pembentukan karakter diri anak didik. Salah satu yang melatar belakangi munculnya kurikulum 2013 adalah lunturnya karakter anak bangsa Indonesia. Karakter anak bangsa saat ini oleh sebagian besar masyarakat ditengarai sedang mengalami degradasi. Terbukti semakin maraknya perilaku para pelajar yang dengan tanpa beban melanggar norma agama dan norma negara, didukung perilaku para elite negara yang sudah sangat banyak tertangkap basah melakukan tindak korupsi. Hal yang terjadi tersebut di atas oleh masyarakat disebut sebagai hasil dari pendidikan di sekolah. Kondisi seperti ini harus segera di atasi dengan salah satu cara adalah pendidikan karakter bagi generasi bangsa. Pendidikan karakter memang sangat urgen bagi bangsa ini karena masa depan bangsa terletak pada generasi saat ini. Jika pendidikan di Indonesia tidak dapat membentuk karakter generasi yang baik maka yang akan terjadi adalah kehancuran bangsa. Karakter yang baik, menurut John Luther, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugerah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit – dengan pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha keras (John Luther, dikutip dari Ratna Megawangi dalam Adian Husaini, 2010). Karakter memang laksana “otot” yang memerlukan latihan demi latihan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kekuatannya. Karena itu, pendidikan karakter memerlukan proses pemahaman, penanaman nilai, dan pembiasaan, sehingga seorang anak didik mencintai perbuatan baik. Contoh, untuk mendidik agar anak mencintai kebersihan, maka harus dilakukan pembiasaan hidup bersih dan diberikan pemahaman agar mereka mencintai kebersihan. Tentu, ini adalah cara yang baik dan memerlukan kesabaran dalam pendidikan (Adian Husaini, 2010).
Bahwa karakter anak dapat dibentuk melalui pemahaman, penanaman nilai dan pembiasaan, serta keteladanan maka hal yang paling mudah untuk memasukan unsur-unsur tersebut adalah proses pendidikan. Dengan sistem yang terencana, aktivitas yang terjadwal dan teratur serta komunitas anak yang seusia maka pendidikan karakter akan lebih mudah dilakukan di sekolah. Guru sebagai pendidik tidak hanya bertugas untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya namun guru harus dapat dijadikan teladan pembentukan karakter anak. Paradigma masyarakat bahwa guru adalah orang yang memiliki keteladanan dan dapat menjadikan anak didiknya untuk menjadi anak yang tumbuh dan kembang dengan karakter yang baik. Masyakat sepenuhnya mempercayakan dan menumpukan hal ini kepada guru sehingga kegagalan karakter anak bangsa merupakan kegagalan guru khususnya dan kegagalan pendidikan di sekolah.
Hingga saat ini dalam hidup dan kehidupan masyarakat, pendidikan karakter yang dipupuk pada anak belum mampu menciptakan kehidupan yang bermoral. Untuk menciptakan hidup dan kehidupan masyarakat yang bermoral bukan hanya sekedar membentuk karakter anak, sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim maka bangsa ini masih perlu membangun tidak sekedar karakter anak bangsa namun anak-anak bangsa yang beradab sehingga menjadikan masyarakat yang beradab. Inilah pentingnya pembentukan generasi yang bukan hanya berkarakter namun juga beradab. Bagi Muslim, berkarakter saja tidaklah cukup. Beda antara Muslim dengan non-Muslim – meskipun sama-sama berkarakter – adalah pada konsep adab. Yang diperlukan oleh kaum Muslim Indonesia bukan hanya menjadi seorang yang berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang berkarakter dan beradab. (Adian Husaini, 2010).
Pemahaman dan pengakuan tentang adab inilah yang membedakan seorang Muslim yang berkarakter dengan seorang komunis atau ateis yang berkarakter. Secara umum, pendidikan karakter yang digalakkan oleh pemerintah adalah baik. Tetapi, orang yang berkarakter saja, belum tentu beradab. Lihatlah, orang-orang Barat, banyak yang sangat peduli dengan kebersihan dan kerja keras, tetapi mereka tidak memandang jahat aktivitas bermabok-mabokan, bertelanjang, dan berbuat tidak senonoh.
Pakar filsafat Islam dan sejarah Melayu menjelaskan, bahwa, ”... adab itu sesungguhnya suatu kelakuan yang harus diamalkan atau dilakukan terhadap diri, dan yang berdasarkan pada ilmu, maka kelakuan atau amalan itu bukan sahaja harus ditujukan kepada sesama insani, bahkan pada kenyataan makhluk jelata, yang merupakan ma’lumat bagi ilmu.” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam Adian Husaini, 2010).
Orang beradab adalah yang dapat memahami dan mengakui sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang ditentukan oleh Allah (Adian Husaini, 2010). Dalam kaitannya dengan pendidikan anak negeri ini maka di samping pembentukan karakter yang lebih utama adalah membangun adab pada diri anak, sehingga anak dapat mengaplikaiskan dalam kehidupan bermasyarakat. Jika kehidupan bermasyarakat dibangun dengan menegakan adab maka kehidupan masyarakat menjadi bermoral dan beradab. Di sekolah anak didik harus diberikan teladan dari hal-hal yang lebih khusus tentang bagaimana menegakan adab. Sebagai seorang pendidik kita harus memberikan pemahaman, penanaman nilai, pembiasaan, dan keteladanan tentang adab yang berkaitan dengan ilmu, guru, dan diri anak didik tersebut. Dari sinilah kita dapat mengetahui apakah proses pendidikan untuk menjadi generasi yang unggul dan beradab sesuai dengan amanat tujuan pendidikan telah berhasil?. Bagaimanakah cara agar tujuan pendidikan itu dapat tercapai?
Ukuran keberhasilan peserta didik dapat dilihat dari pertambahan pengetahuannya, peningkatan keterampilannya, dan kemuliaan kepribadiannya. Disinilah peran guru harus menjadi role model (teladan), mejadi pendengar yang baik. Kalau guru mengajar dengan hati, murid akan mendengarkan dengan hati. Guru yang mengajar dengan cinta, murid pasti akan membalasnya dengan cinta. Guru yang pandai menghargai murid, murid pasti menghargai guru. Inilah yang akan dibangun pada generasi mendatang(M. Nuh, Menyemai Kreator Peradaban, 2014). Seorang guru bukan hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, namun juga harus mendengarkan yang disampaiakn anak didiknya. Dalam proses pendidikan seorang guru wajib memberikan ilmu kepada anak didiknya dengan hati dan dengan cinta.
Jika di dalam diri anak didik sudah terbentuk dengan karakter dan adab yang baik, maka anak didik dalam kehidupan bermasyarakat akan menegakan moral dan adab. Namun harus diakui bahwa membentuk dan membangun anak negeri yang memiliki adab bukanlah persoalan hanya seorang guru dan lembaga pendidikan tapi ini adalah persoalan bersama masyarakat Indonesia. Untuk itu pembentukan karakter dan adab anak bangsa seyogyanya dilakukan bersama-sama antara orang tua sebagai masyarakat dan guru sebagai sekolah. Jika di sekolah telah dibentuk lingkungan dengan karakter dan adab yang baik namun pihak orang tua tidak mendukungnya justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan yang dilakukan sekolah yang terjadi adalah anak-anak bangsa akan menjadi anak-anak yang membahayakan karena mereka terbiasa dibentuk dalam dua dunia yang berbeda, di satu sisi memiliki perilaku dengan kebaikan namun di sisi lain perilakunya bertentangan. Untuk menjadikan anak negeri ini menjadi anak yang menegakan adab maka di negeri ini dibutuhkan guru-guru sejati. Mohammad Natsir dalam Adian Husaini 2010, percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka berkorban untuk keperluan bangsanya.” Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar “guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan “ditiru” (dicontoh). Jika dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat sebagai orang dewasa kita dapat memberikan teladan yang baik maka anak negeri ini akan menjadi anak yang menegakan adab begitu sebaliknya. Pembentukan karakter dan adab yang baik pada diri anak dibutuhkan keteladanan dari para pemimpin bangsa, masyarakat, orang tua dan pendidik di sekolah.
Di dalam kitab karya KH. Hasyim Asy’ari berjudul Adab al-alim wa al-muta’allim fi ma yahtaj ilaih al-muta’allim fi ahwal ta’limihi wa ma yatawaqaf ‘alaih al-muta’allim fi maqamat ta’limihi sebelum memberikan ilmu kepada anak didik harus seorang guru harus memiliki etika-etika yang harus ditegakkan antara lain :
1.      Etika terhadap dirinya yaitu berhati-hati (wara’), tidak mempunyai sikap tinggi hati tetapi tawadhu’, konsentrasi(khusyu’), tidak terlalu memanjakan anak didik, tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara menyombongkannya, membiasakan diri menulis, mengarang, meringkas.
2.      Etika terhadap anak didik yaitu guru hendaknya memiliki keihlasan dalam mengajar, memberikan motivasi, memberikan kemudahan dalam proses pembelajaran, memahami kemampuan, dan memberikan latihan-latihan yang sifatnya membantu.
Dari pendapat di atas jika seorang guru dapat melakukan hal-hal tersebut maka peserta didik yang diharapkan untuk menjadi generasi yang unggul dan berakhlak baik akan terwujud.
Kisah David K. Hatch dalam everyday greatness (2007). Konon seorang profesor meneliti sebuah kampung kumuh. Ia berhipotesa bahwa anak yang hidup dikawasan yang kumuh hampir tidak ada yang akan suskes, mereka akan menjadi sampah masyarakat. Setelah berjalan 25 tahun, sang profesor kaget hasil surveinya bahwa dari 190 anak yang dulu diwawancarai hanya 4 orang yang masuk penjara, semua hidup normal dan hidup berhasil di berbagai bidang. Setelah dilakukan penelitian ulang, ternyata ada sebuah fenomena yang membuat profesor itu sadar. Dia menduga ada sosok dalam hidup mereka yang bisa mngubah kondisi umum ini. Hampir semua anak yang disurvei mengingat sosok guru SMP meereka, Bu Chysan.
Sang profesor menanyakan ke Bu Chysan, apa rahasianya bisa membawa perubahan hidup yang luar biasa bagi murid-muirdnya, Ia pun menjawab “yang saya tahu, saya banyak mendidik mereka dengan cinta, dan saya sangat mencintai mereka” (M. Nuh, Menyemai Kreator Peradaban, 2014).
Masih menurut M. Nuh bahwa dari kisah tersebut : (i) guru harus menjadi pembelajar sejati, (ii) guru harus bertanggung jawab terhadap materi yang diajarkan, (iii) guru haruslah membangun jembatan rasa antara dirinya dengan murid-muridnya, sehingga ada ikatan emosional.
Dari sinilah dapat dipahami bahwasannya guru memiliki peranan yang penting dalam proses pembentukan mental dan karakter generasi. Mungkin bagi seorang guru tidak menyadari bahwa mereka adalah inspirasi bagi anak didiknya. Untuk itulah diharapkan seorang guru harus dapat memberikan keteladanan dan mengajarkannya dengan penuh cinta dan kasih sayang bagi anak didiknya karena setiap kalimat, nasehat, dan peringatan yang disampaikan seorang guru secara tidak langsung akan membentuk kerpibadian anak didiknya. Di masa inilah anak didik merasakan kehausan akan kasih sayang dari seorang guru yang tulus yang mendidiknya dengan hati dan cinta, mereka sangat menyadari akan kegersangan hatinya dan hanya kepada gurunyalah mereka membuuthkan tuntunan.

Jika seorang guru dapat melakukannya dan menerapkan pendapat para ahli di atas maka proses pendidikan yang berlangsung akan dapat membentuk generasi yang unggul dan berakhlak mulia. Bagaimana menurut saudara?