Kamis, 01 Mei 2014

MEMBENTUK KARAKTER, tugas siapa?



Edisi Khusus
Hari Pendidikan (21 Mei 2014)
MEMBENTUK KARAKTER, Tugas Siapa ?
Pada masa sekarang ini kita banyak disuguhkan perilaku para pelajar yang menyimpang dari norma masyarakat, norma agama, bahkan norma negara. Banyak kita baca dan kita dengar di media massa maupun media elektronik para pelajar yang melakukan tindakan tawuran antar geng, perampokan oleh pelajar, sex bebas, narkoba, bahkan curanmor. Zaman sekarang ini sudah dikatakan edan(jawa), kata pepatah jawa , yen ora ngedan ora keduman, becik-becike wong sih eling lan waspada. Melihat kenyataan seperti ini semua orang tua dan masyarakat maupun  pemerintah berpendapat bahwa para pelajar sekarang ini sudah tidak memiliki kepribadian, kesopanan, kedisiplinan, dan kejujuran yang baik, namun sudah terbentuk akhlak yang buruk. Para orang tua dan masyarakat lupa bahwa yang dilakukan oleh para pelajar dikarenakan para orang tua mereka atau panutan masyarakat, mereka telah memberikan contoh lewat perilaku mereka yaitu melakukan perampokan uang negara, sex bebas, curanmor dll. Orang tua, masyarakat dan pemerintah hanya melihat dari salah satu sisi, bahwa kenyataan tersebut disebabkan gagalnya proses pendidikan di sekolah. Orang tua dan masyarakat  beranggapan bahwa selama ini sekolah hanya memberikan materi-materi pelajaran untuk menghadapai Ujian Nasional atau Ujian tulis lainnya untuk mencapai nilai akademik yang memuaskan. Nilai akademik dianggap indikator strata sekolah, jika semakin tinggi nilai akademik sekolah maka sekolah tersebut masuk dalam strata/grade high, begitu juga sebaliknya. Pendapat masyarakat di atas ternyata tidak seluruhnya betul. Mendengar opini serta argumentasi yang disampaikan masyarakat mengenai hal tersebut mendekati kebenaran, akhirnya pemerintah justru ikut terseret dengan opini tersebut. Pemerintahpun mengambil kebijakan untuk memasukan Budi Pekerti kepada setiap mata pelajaran. Bahkan sejak kurikulum 1994 pemerintah memasukan pendidikan karakter untuk setiap mata pelajaran. Kebijakan ini di lakukan untuk menekankan pendidikan karakter di sekolah pada proses pendidikan sehingga harapan kelak akan terbentuk generasi yang berkarakter terpuji. Apa yang dilakukan pemerintah ini menunjukkan bahwa pemerintah semakin tidak paham dengan tugas guru sejati, sudah mulai ada ketidak percayaan kepada guru, dan yang lebih parah lagi hal ini sebenarnya hanya menambah beban administratif guru. Pemerintah lupa bahwa guru bukan hanya sekedar mengajar namun juga mendidik. Kedua hal ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, bagaikan satu mata uang. Pada saat guru sedang mengajar dan mendidik di dalam kelas sebenarnya yang sedang ia ajarkan adalah hidup sang guru itu sendiri. Palmer (1998); mengajar, sebagaimana kegiatan manusiawi lainnya, muncul dari kedalaman diri individu. Palmer (1998); pengajaran yang baik berasal dari identitas dan integritas sang guru. Dari opini masyarakat dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah membuat guru semakin pada posisi terjepit. Guru selama ini telah mendidik karakter yang baik kepada peserta didiknya. Dalam diri dan jiwa guru tidak ada guru yang membiarkan peserta didiknya akan menjadi sampah masyarakat, memiliki sifat tercela dan tidak berguna.
Bagaimana pendidikan karakter harus di bentuk pada diri peserta didik agar kelak menjadi generasi bangsa yang unggul dan berkarakter?
Masalah tersebut tidak dapat ditumpukan pada satu orang namun bergantung kolaborasi dari guru, orang tua/masyarakat dan pemerintah.

GURU
Pendidikan karakter pada dasarnya bukan memberikan materi ajar atau pelatihan namun pendidikan karakter adalah keteladanan dalam hidup dan kehidupan. Setelah memberikan keteladanan maka karakter tersebut akan menjadi kebiasaan sehingga akan terwujud budaya dalam peradaban masyarakat. Lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat maupun negara adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ketiganya harus saling mendukung, memberikan support untuk melaksanakan visi besar menjadikan generasi bangsa yang memiliki karakter terpuji.
Guru sebagai pendidik karakter di sekolah telah melakukan pendidikan karakter melalui keteladanan selama berada di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Keteladanan guru tersebut ditunjukkan dengan cara berbicara, berpakaian, menghargai orang lain, menerima pendapat orang lain, kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, sabar, dll. Karakter tersebut di samping ditunjukkan melalui keteladanan juga diterapkan dalam kehidupan di sekolah dan dalam proses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar bahkan guru mempraktikan melalui pembelajaran, bagaimana berdiskusi menghargai pendapat orang lain, bagaimana menghargai kekurangan orang lain, bagaimana berdemokrasi dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut hampir setiap hari dan setiap waktu guru memberikan keteladanan. Bahkan di dalam kehidupan sekolah guru sudah sangat menyadari dan memahami bahwa pembentukan karakter tidak dapat dilakukan hanya melalui paksaan, penjelasan, aturan-aturan belaka atau reward-reward sesaat, karena hal ini hanya melahirkan pemampatan batas-batas peranan, namun pembentukan karakter harus melalui keteladan, pembiasaan, praktik dalam kehidupan masyarakat kecil atau sekolah. Dengan hal begini maka dalam kehidupan masyarakat sekolah akan terbentuk budaya yang berkarakter.
Kenyataan yang terjadi di masyarakat apa yang telah dilakukan oleh guru di sekolah seakan-akan terpisah dengan apa yang dilakukan orang tua di rumah atau masyarakat yang lebih besar.
Bagaimana seharusnya orang tua melakukannya?
ORANG TUA
Keluarga atau orang tua serta saudara adalah lingkungan kecil yang memiliki peranan penting dalam pembentukan karakter anak selain di sekolah. Ibu, Ayah, Kakak atau saudara lainnya adalah contoh nyata di hadapan anak-anak yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi kepribadiannya. Untuk itu pola kehidupan di rumah haruslah selaras dengan kehidupan di sekolah. Hal ini bukan berarti orang tua di rumah belum menerapkan atau memberikan keteladana kepada anak mengenai karakter yang terpuji. Namun masih banyak ditemui bahwa justru karakter buruk anak diperoleh dari rumahnya. Jika pembentukan karakter anak di rumah selaras dengan pembentukan karakter di sekolah maka anak akan merasakan bahwa kehidupan di sekolah merupakan bagian dari kehidupan di rumah begitu juga sebaliknya. Sekolah merupakan rumah keduanya begitu juga rumah merupakan sekolah bagi dirinya. Jika pembiasaan seperti ini berlangsung secara kontinu maka kepribadian anak akan terbentuk dengan baik. Namun tidak sedikit hubungan sekolah dengan rumah terputus. Yang terjadi adalah lingkungan sekolah bukan bagian dari lingkungan rumah, persepsi ini timbul pada diri anak karena merasakan perbedaan yang terjadi pada dua lingkungan tersebut. Suatu misal di rumah anak sering melihat kedua oarng tuanya bertengkar, mengeluarkan kata-kata kotor, sering menghakimi saudaranya, berlaku keras terhadap diri anak, memberikan perintah tanpa penjelasan, tidak pernah meminta pendapat anak bahkan yang lebih parah melihat orang tuanya berlaku menyimpang norma masyarkat, agama, dan negara. Bukan hanya sekedar itu orang tua tidak pernah ada waktu untuk sekedar menanyakan keadaan anak selama di sekolah, orang tua terlalu sibuk denga pekerjaanya, bagi yang berekonomi high sibuk dengan meetingnya, sedangkan bagi yang berekonomi sulit sibuk bekerja mencari sesuap nasi. Dari keadaan tersebut anak merasa bahwa dirinya seorang diri, tidak ada yang mau peduli, tidak ada yang dapat memberikan keteladanan di rumah, sehingga persepsi anak bahwa keteladanan di sekolah hanya sebatas kehidupan di sekolah sebagai pelajar setelah di luar sekolah terserah dirinya. Akhirnya yang terjadi anak berperilaku menyimpang norma masyarakat, agama, dan negara. Mereka mencari komunitas yang dapat menghargai, menerima dan mengayomi mereka selama di luar sekolah. Mereka memilih komunitas menurut kesenangan mereka tetapi tidak melihat bahwa komunitas yang dipilih adalah komunitas anak-anak yang berkarakter tidak terpuji.
Fenomena para pelajar tersebut membuat orang tua mereka menyalahkan sekolah yang selama ini para orang tua telah menyerahkan anak sepenuhnya kepada sekolah, orang tua beranggapan bahwa sekolah harus bisa mendidik anaknya menjadi baik karena sekolah bisa segalanya. Orang tua tidak mau dijadikan orang yang juga harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya, para orang tua sudah sibuk bekerja mencari uang. Sehingga setelah melihat kenyataan tersebut orang tuanya menyalahkan sepenuhnya kepada sekolah. Mendengar opini masyarakat tentang hal itu, pemerintah ikut terseret dengan opini tersebut. Akhirnya mengambil beberapa kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

PEMERINTAH
Fenomena perilaku pelajar di masyarkat yang semakin meresahkan ditambah dengan opini masyarakat yang menyatakan bahwa pendidikan di sekolah gagal, karena sekolah tidak pernah memberikan pendidikan karakter kepada peserta didiknya. Hal tersebut menyeret pemikiran pemerintah pada arus opini masyarakat dengan fakta perilaku para pelajar di masyarkat. Pemerintahpun berpikiran bahwa guru harus bertanggung jawab terhadap hal ini, untuk itu di sekolah harus dibuat kurikulum untuk membentuk karakter peserta didik. Pemerintah berpendapat seperti halnya masyarakat bahwa selama ini sekolah telah mengabaikan pendidikan karakter. Sekolah terlalu fokus pada peningkatan intelektualnya saja. Sehingga pada kurikulum 2013 ini pemerintah menekankan pembentukan karakter anak dengan menyebut kurikulum 2013 sebagai kurikulum karakter. Pemerintah lupa bahwa tugas guru adalah panggilan jiwa, naluri hati. Guru bukan hanya mengajar materi pelajaran tetapi guru mengajarkan tentang kehidupannya sendiri, mendidik peserta didik dalam berkehidupan. Justru dengan adanya kebijakan pemerintah yang baru tersebut bukan merupakan solusi bagi guru, yang terjadi adalah penambahan beban tugas guru dan guru merasa selama ini hanya dijadikan yang harus bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilan generasi bangsa, guru merasa bahwa kebijakan pemerintah tersebut terlalu linear kurang kompleks. Guru sudah apriori terhadap perubahan kuirkulum yang hampir terjadi setiap tahun atau setiap pergantian menteri pendidikan. Perubahan kurikulum tersebut selama ini penerapan di lapangan mengakibatkan penambahan tugas administratif guru, sehingga waktu guru lebih banyak dihabiskan untuk menyelesaikan tugas administratif sekolah yang merupakan kewajibannya sebagai aparatur negara. Hampir setiap selesai mengajar guru harus menyelesaikan tugas adminstratif, entah menyangkut tugas pokok dan fungsinya maupun tugas administratif di luar tugas pokon dan fungsinya. Sehingga waktu guru sehari-hari hanya habis digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif, sedangkan waktu yang harus digunakan untuk mendidik anak bangsa sudah tidak ada lagi. Padahal jika pada saat guru tidak ada tugas mengajar, guru dapat mengobservasi peserta didiknya baik melalui bincang-bincang santai atau hanya sekedar ikut nimbrung dalam permainannya. Namun cara berfikir pemerintah terlalu linear bahwa dengan adanya administratif yang baik maka pekerjaan tersebut dinilai baik. Pemikiran inilah yang harus segera direvolusi. Pemerintah harus memiliki pemikiran yang kompleks untuk menyelesaikan persoalan pendidikan. Yang harus dipahami oleh pemerintah bahwa yang menempuh pendidikan di sekolah adalah para manusia dan yang memberikan pendidikan juga manusia.
Bagaimanakah mencari solusi dari persoalan stake holder pendidikan yang memiliki cara pandang yang berbeda tersebut?

SOLUSI
Guru, orang tua dan pemerintah adalah stake holder pendidikan. Tiga komponen tersebut tidak dapat dipisahkan dan harus saling terkait dan mendukung. Jika ketiga komponen memiliki cara pendang yang berbeda terhadap pendidikan anak, maka yang terjadi adalah komponen tersebut bekerja sendiri-sendiri sesuai dengan tugas masing-masing. Sehingga ketiga komponen memiliki pendapat bahwa mereka bukan satu kesatuan tetapi bebeda-beda dengan tugas, tujuan yang berbeda. Kalau hal ini dibiarkan terus-menerus maka pendidikan di negeri ini akan semakin parah, generasi bangsa ke depan akan menjadi generasi gelandangan yang hanya dapat memalak. Negara ini akan berada pada masa yang lebih edan. Untuk itu tiga solusi alternatif yang dapat saya ajukan adalah :
Kesatu, Guru dan orang tua murid harus memiliki visi dan misi yang sama dalam pendidikan anak. Dalam hal ini sekolah secara kontinu dan periodik mengadakan pertemuan dengan orang tua murid untuk membicarakan pendidikan dan perkembangan anak. Pertemuan sekolah dan orang tua murid dapat berupa menyampaikan perkembangan anak, seminar/parenting pendidikan anak, atau konsultasi permasalahan anak.
Kedua, orang tua murid harus terlibat aktif dalam pertemuan dengan sekolah dengan selalu hadir, mengikuti dan melaksanakan hal-hal yang didapat dari pertemuan di sekolah. Jika ada permasalahan menyangkut perkembangan anak, orang tua murid segera berkonsultasi dengan guru untuk bersama-sama mencari solusi dari permasalahan tersebut. Solusi yang di dapat oleh orang tua murid dan guru dapat dilaksanakan secara bersama-sama baik di lingkungan sekolah maupun di rumah.
Ketiga,  Untuk menyelesaikan masalah karakter generasi bangsa pemerintah seharusnya berpikir kompleks bukan linear yang hanya melihat persoalan pada satu sisi. Sebenarnya pemerintah menyadari bahwa masalah karakter bukan hanya masalah guru namun juga masalah masyarakat. Tetapi pemerintah belum melakukan kebijakan yang bekaitan dengan masyarakat. Hingga saat ini pemerintah hanya berorientasi pada kebijakan yang berhubungan dengan sekolah. Seharusnya pemerintah juga memberikan edukasi kepada masyarakat untuk membentuk generasi bangsa. Edukasi tersebut dapat dilakukan mulai dari tingkat propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa sampai dengan tingkat RW/RT. Edukasi tersebut dapat berupa penyuluhan, sebagaimana pernah dilakukan pada zaman Pak Soeharto untuk menyukseskan gerakan KB (Keluarga Berencana). Gerakan tersebut dapat diadopsi dengan mengubah menjadi gerakan KB (Karakter Bangsa). Untuk melakukan hal ini pemerintah dapat menjalin kerjasama dengan Perguruan Tinggi agar melibatkan mahasiswa untuk terjun di masyarakat. Seperi yang dilakukan di Surabaya ini yaitu dengan melibatkan perguruan tinggi membentuk CSR.  Sedangkan di sekolah-sekolah di samping adanya kebijakan aturan, pemerintah juga harus memberikan dukungan sarana. Misalnya, menyediakan video-video motifasi, cerita orang-orang sukses, cerita-cerita perjuangan dll. Jika hal ini dapat dilakukan insyaallah dalam satu generasi akan terwujud generasi bangsa yang berkarakter baik. Memang harus diakui semua ini membutuhkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Sanggupkah negara kita ?

Kamis, 20 Maret 2014

MENINGKATKAN KECERDASAN ANAK (Menurut Islam)


MENINGKATKAN KECERDASAN ANAK
(Menurut Islam)

Bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan uniq yaitu setiap anak memiliki dan membawa potensi dan kekurangan masing-masing. Dalam masa tumbuh kembang anak, potensi anak dapat dikembangkan dengan optimal bergantung dari pola asuh orang tua di samping dukungan dari lingkungan pendidikannya. Potensi pada diri anak adalah kemampuan atau kecerdasan yang dimiliki setiap anak. Potensi tersebut yang akan membawa anak menjadi sukses. Sukses dan tidaknya seorang individu bergantung perkembangan kecerdasan yang dimiliki, sedangkan kecerdasan individu tidak ditentukan oleh faktor dominan IQ namun ditentukan oleh faktor yang sangat potensial yaitu SQ dan EQ. IQ yang dimiliki oleh setiap individu selama hidupnya tidak akan pernah mengalami peningkatan yang signifikan namun berbeda dengan SQ dan EQ yang dapat berkembang dengan optimal. Kecerdasan seorang anak dalam hidup adalah kemampuan menyelesaikan dan mencari solusi masalah hidup yang dihadapai serta dapat membaca peluang untuk melakukan terobosan dalam kesempatan sehingga dalam hidupnya akan dapat menghasilkan karya-karya yang dapat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan. Hal ini dapat dikembangkan dengan optimal apabila SQ pada diri anak dikembangkan dengan baik sehingga EQ anak akan terbentuk dengan baik pula.
Di dalam ESQ (Ary Ginajar; 2001) disebutkan bahwa EQ ini merupakan kekuatan berfikir alam bawah sadar yang berfungsi sebagai tali kendali atau pendorong. Para ilmuwan mengatakan bahwa “ada keajaiban di dalam pemikiran besar”. Di dalam ESQ (Ary Ginanjar ;2001), menurut Danah Zohar dan Ian Marshall “kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapai persoalan makna atau value yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding yang lain. SQ adalah landasan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara fektif. Bahkan SQ merupkan kecerdasan tertinggi kita (Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ : Spiritual Intellegence, Bloomsbury, Great Britain).
Bagaimanakah cara meningkatkan kecerdasan anak? Didalam Islam sudah diberikan contoh oleh Rasulullah SAW untuk mengembangkan SQ dan EQ anak sehingga kelak mereka akan menjadi individu yang tangguh, jujur, dapat dipercaya, santun , empati atau biasa disebut dengan akhlak karimah. Sejak anak di dalam kandungan Ibu maka orang tua sudah harus mengenalkan ketauhidan dengan cara membaca ayat-ayat Allah didekat Ibu sehingga dapat didengar oleh sang janin di dalam kandungan. Pada saat kelahiran sang bayi maka harus dikumandangkan adzan di telinga kanan dan iqomah di telinga kiri. Di dalam Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl  (Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid; 2003), Dahlawi mengatakan rahasia dan hikmah mengumandangkan adzan pada bayi : Adzan merupakan bagian dari syi’ar-syi’ar islam, Pemberitahuan tentang agama Muhammad, Mengkhususkan pengumandangan adzan pada bayi yang dilahirkan pada bagian telinganya membuat setan lari, dalam hadits Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda “setipa anak adam itu ketika dilahirkan akan digerakkan oleh setan ketika ia sedang dilahirkan sehingga dia menangis dengan keras akibat gangguan tersebut, kecuali Maryam dan putranya”. Setelah bayi lahir maka sang Ibu harus menyusuinya. Di dalam Al-Qur’an surat Al-Qashahsh:12 “Dan kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan lain”, dan surat Al-Baqarah : 233 “Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya”. Melalui riset kesehatan dan psikologi bahwa periode dua tahun pertama merupakan fase yang sangat penting dan menentukan bagi perkembangan anak yang sehat baik dari aspek kesehatan maupun kejiwaan. Pembentukan SQ dan EQ pada diri anak Islam sudah memberikan petunjuk sejak bayi lahir, hal ini dimaksudkan agar kelak akan menjadi anak sesuai yang disyariatkan oleh Islam. Begitu juga dengan pemberian susu ASI oleh Ibu kepada anak Islam sudah memberikan petunjuk dan ini merupakan pembentukan EQ yang dianjurkan oleh Islam karena dari hal itu akan terbentuk rasa kasih sayang seorang Ibu kepada anak di samping juga pada diri anak akan terbentuk jiwa yang kuat karena merasa tenang dan nyaman dalam belaian Ibu. Hal di atas adalah sebagai pondasi pembentukan SQ dan EQ pada diri, karena pada saat masa dua tahun hingga baligh itulah masa yang paling ideal untuk membentuk kecerdasan SQ dan EQ anak sehingga kelak mereka akan menjadi individu yang berakhlak karimah dan cerdas dalam menghadapi hidup.
Di samping hal di atas pembentukan SQ dan EQ anak sudah harus dilakukan sejak dini di dalam Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl  (Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid; 2003) disebutkan hal-hal yang dapat membentuk SQ dan EQ anak yaitu :
1.         mendikte anak dengan kalimat tauhid,
2.         Menanamkan kecintaan kepada Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabatnya.
3.         Menanamkan aqidah yang kuat dan kerelaan berqorban karena-Nya
4.         Memerintahkan shalat, Mengajari shalat, Memukul anak jika enggan shalat, Mendidik anak agar menghadiri shalat berjama’ah.
Abu dawud meriwayatkan dari Sibrah bin Ma’bad Al-juhani bahwa dia berkata, Rasulullah bersabda”perintahkanlah anak aklian untuk mengerjakan shalat jika sudah sampai usia tujuh tahun, dan apabila telah berusia sepuluh tahun, pukullah ia jika sampai mengabaikannya”. Pada usia sepuluh tahun seorang anak boleh dipukul, menurut Syaikh Waliyullah Dahlawi mengandung dua aspek: Pertama, apabila ia telah dianggap sehat secara kejiwaan. Hal ini terwujud dengan berfungsinya akal. Tanda berfungsinya akal ini muncul ketika anak berumur sepuluh tahun. Sejak usia tujuh tahun, seorang anak mulai berpindah ke fase berikutnya secara jelas, dan puncaknya adalah pada usia sepuluh tahun. Ketika berusia sepuluh tahun inilah seorang anak secara normal telah berakal dan bisa mengetahui mana yang bermanfaat dan mana yang mendatangkan madharat. Kedua, ketika anak telah mempunyai kematangan mental dan fisik, yaitu ketika anak berusia lima belas tahun pada umumnya. Pada saat usia anak telah mengalami kematangan mental dan jiwanya itulah masa yang tepat untuk menunjukkan kepada anak tentang hal-hal yang tidak diperbolehkan dan yang diperbolehkanb serta hukuman apabila melanggarnya karena pada usia tersbeut anak sudah dikatakan baligh.
5.         Mengajari untuk puasa karena puasa merupakan ibadah ruhani sekaligus jasmani.
Dengan melatih anak berpuasa maka di dalam diri anak akan terbentuk ruhani yang kuat, tidak  mudah goyah dan terpengaruh oleh hal-hal negatif, senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT.
Dalam hal pembentukan EQ anak yaitu dengan mengajarkan bagaimana hidup bermasyarakat. Pembinaan hidup bermasyarakat ini bertujuan agar dia bisa beradaptasi dengan lingkungan kemasyarakatannya, dengan orang-orang yang dewasa atau dengan teman sebayanya, dan juga agar mempunyai peran positif. Demikian juga agar dia terhindar dari sifat memikirkan diri sendiri dan rasa malu yang tidak pada tempatnya, dia akan menerima dan memberi dengan tatakrama, dan juga melakukan interaksisosial. Kegiatan pembinaan kemasyarakatan yang bertujuan mengembangkan dan mengoptimalkan EQ anak dintaranya adalah :
-          Mengajak anak menghadiri majelis kaum dewasa, membawa anak-anak ke majelis kaum dewasa, maka akan terlihat kekurangan dan kebutuhuan-kebutuhannya, dengan demikian orang tua akan bisa membimbingnya ke arah yang lebih sempurna lagi dan memotivasinya untuk berani memberikan jawaban ketika ada lontaran pertanyaan sehingga dia bisa berbicara setelah izin terlebih dahulu, yang tentunya dengan adab dan sopan-santun. Disamping itu kemampuan akalnya akan meningkat dan jiwanya akan terdidik, dia juga akan mengenal pembicaraan orang dewasa sedikit demi sedikit sehingga ia akan siap terjun di tengah-tengah masyarakat. Anak-anak juga akan mendapatkan nasehat dan bimbingan.
-          Menyuruh anak melaksanakan tugas rumah sesuai dengan kemampuannya dan tidak membebani diri anak. Pemberian tanggung jawab tugas rumah ini merupakan salah satu faktor dominan terhadap perkembangan sosial anak. Dia bisa mengenal masalah-masalah kehidupan yang belum diketahui sebelumnya, mempunyai kepercayaan diri yang kuat dalam menghadapi berbagai persoalan, mempunyai kepekaan apa saja yang diperlukan kedua oarang tuanya sebelum mereka menjelaskan. Namun dalam memberikan tugas harus diberi tahu bagaimana cara mengerjakan tugas dengan baik.
-          Membiasakan mengucapakan salam ketika masuk/keluar rumah, bertemu orang dewasa atau teman sebaya.
-          Mengajarakan dengan mengajak anak untuk menjenguk anak sakit dengan harapan anak akan memiliki jiwa kasih sayang, suka menolong dan dapat merasakan kesedihan orang lain.
-          Memberikan nasehat untuk memilih teman yang baik, karena lingkungan sangat berpengaruh dominan terhadap perkembangan kejiwaan anak. Jika lingkungan teman dan tempat bermain anak kurang kondusif untuk perkembangannya maka kelak dewasa anak akan memiliki perkembangan kejiwaan seperti yang dialaminya, namun sebaliknya jika teman dan tempat bermain anak sangat konduisf dan baik untuk perkembangan kejiwaannya maka kelak dewasa anak akan menjadi anak yang baik.
-          Menghadiri acara perayaan yang disyariatkan hal ini dimaksudkan agar anak
-          Bermalam di rumah famili yang shalih agar anak dapat memahami kepribadian familinya di samping itu dapat mengetahui famili-familinya.
Pembentukan kejiwaan anak dalam hal akhlak adalah merupakan salah satu dasar meningkatkan kecerdasan EQ anak . Meningkatakan kecerdasan EQ anak dalam hal akhlak adalah dengan cara mengajarkan adab yang baik kepada anak. Adab tersebut antara lain : adab sopan-santun, adab dengan kedua orang tua (berbicara dan memandang kedua orang tua), Menghormati dan mengagungkan orang tua serta merendahkan diri kepada mereka, bergegas untuk memberikan pelayanan kepada mereka, tidak mengeraskan suara di majelis-majelis mereka, dan bersikap lembut ketika bergaul dengan mereka, semua itu mesti dibiasakan oleh setiap anak, tidak memootng pembicaraan orang tua, menghormati dan menghargai orang lain, Persaudaraan, Bertetangga, Meminta izin jika keluar rumah, berkata jujur (harus dimulai dari orang tua, sehingga dapat dijadikan taulada bagi anaknya). Rasulullah memberikan perhataian terhadap perkembangan anak agar mempunyai kemampuan menjaga rahasia, karena hal itu akan membawa kebaikan bagi anak itu sendiri untuk sekarang maupun masa yang akan datang, berguna bagi keselamatan keluarga dan keutuhan masyarakat, disamping itu akan menjadi anak yang memiliki kemauan kuat.Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far bahwa dia berkata”Suatu hari Rasulullah pernah memboncengkanku di belakang beliau, lalu beliau menyimpankan rahasia kepadaku yang tidak akan akau katakan kepada seorangpun”.
Yang tidak kalah penting dari pembentuk SQ dan EQ anak adalah pembinaan perasaannya. Apabila perasaan anak dibina secara seimbang maka kelak ia akan menjadi anak yang lurus dalam kehidupannya yang utuh. Kecupan dan kasih sayang kepada anak, kecupan memiliki dampak yang sangat besar dalam menggerakkan perasaan dan kejiwaan anak, menenangkan gelombang amarahnya, akan tumbuh rasa keterikatan yang erat di dalam mengokohkan hubungan  kecintaan antara yang tua dan muda. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari A’isyah bahwa ia berkata”telah datang beberpa orang Badui menghadap Rasulullah dan bertanya”Apakah engkau mengecup anak-anakmu?’beliau menjawab”ya”, mereka kemudian berkata”Tapi, demi Allah kami tidak mengecup anak-anak kami, Rasulullah lalu bersabda”Aku tidak punya daya apa-apa bilamana Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari dalam hatimu”. Bermain dan bercanda dengan anak, Memberi hadiah dan bonus kepada anak, Membelai kepala anak, menyambut anak dengan baik, mencari tahu keadaan anak dan menanyakannya adalah beberapa kegiatan yang dapat membina perasaan anak. Memberikan kesempatan kepada anak untuk bermain bersama anak-anak sebaya adalah merupakan pembentukan Eq anak yang snagat luar biasa. Imam Ghazalai (dalam kitab AL-Ihya’), mengatakan: setelah selesai belajar, anak seyogyanya bermain dengan permainan yang baik yang bisa menghilangkan kepenatan selama belajar atau mengaji. Namun jangan sampai bermain hingga kelelahan. Melarang anak untuk bermain dan memaksanya untuk terus belajar justru akan mematikan hati, meghilangkan kecerdasan, dan mengeruhkan hidup sehingga harus di cari solusi untuk lepas darinya”.
Jika kita dapat memulai dan melakukan hal-hal yang telah diberikan tuntunan oleh Islam dalam mendidik anak untuk membentuk SQ dan EQ agar dapat berkembang dengan baik dan optimal, maka dalam perkembangan hidupnya anak akan menjadi orang yang tangguh, jujur dan pantang menyerah dalam menghadapi hidup. Karena kecerdasan dalam diri anak sudah terbentuk dan terbina sejak kecil maka anak akan menjadi anak yang cerdas, senantiasa mengingat Allah SWT dalam perjalanan hidupnya dan akan menjadi orang yang dapat hidup bermasyarakat dengan baik serta bermanfaat bagi orang lain. Apakah kita sudah, sedang atau akan melakukannya, semua dikembalikan pada diri kita masing-masing.