Minggu, 02 Desember 2018

Strategi Pendidikan di Era Globalisasi



Strategi Pendidikan di Era Globalisasi
Heri Murtomo
(Pelaku Pendidikan di Surabaya)
Era globalisasi yang melanda dunia termasuk Indonesia berlangsung sangat cepat yang menimbulkan dampak global pula yang sekaligus menuntut kemampuan manusia unggul yang mampu mensiasati dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang sedang dan akan terjadi. Globalisasi akan semakin membuka diri bangsa dalam menghadapi bangsa-bangsa lain. Batas-batas politik, ekonomi, sosial budaya antara bangsa semakin kabur. Persaingan antar bangsa akan semakin ketat dan tak dapat dihindari, terutama dibidang ekonomi dan IPTEK. Hanya negara yang unggul dalam bidang ekonomi dan penguasaan IPTEK yang dapat mengambil manfaat atau keuntungan yang banyak.
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia (Edison A. Jamli, 2005). Proses globalisasi berlangsung melalui dua dimensi, yaitu dimensi ruang dan waktu. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, dan terutama pada bidang pendidikan. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Pengertian lain dari globalisasi seperti yang dikatakan oleh Barker (2004) adalah bahwa globalisasi merupakan koneksi global ekonomi, sosial, budaya dan politik yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk ke dalam kesadaran kita.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan semakin kencangnya arus globalisasi dunia membawa dampak tersendiri bagi dunia pendidikan. Globalisasi pendidikan dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar akan tenaga kerja berkualitas yang semakin ketat. Dengan globalisasi pendidikan diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat bersaing di pasar dunia.
Untuk dapat menjadi negara yang unggul di era globalisasi, salah satu kuncinya adalah globalisasi pendidikan yang dipadukan dengan kekayaan budaya bangsa Indonesia. Selain itu hendaknya peningkatan kualitas pendidikan selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Tidak dapat kita pungkiri bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam hal ini, untuk dapat menikmati pendidikan dengan kualitas yang baik memerlukan biaya yang cukup besar. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab globalisasi pendidikan belum dirasakan oleh semua kalangan masyarakat.
Manusia global adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa (bermoral), mampu bersaing, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki jati diri. Salah satu wahana yang sangat strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang unggul adalah melalui pendidikan. Kemajuan teknologi, ketersediaan modal, barang, sumber daya manusia (SDM) akan mengalir deras dari berbagai belahan dunia yang tidak mungkin dapat dihindari oleh negara manapun. Terkait dengan kondisi tersebut, tuntutan akan reformasi pendidikan (“revolusi pendidikan”) sangat diperlukan, mengingat model pendekatan pendidikan kita selama ini dinilai cenderung bersifat indokrinatif, dogmatis, gaya bank, dan opresif birokratis, orientasi pendidikan tidak sesuai dengan jiwa dan semangat reformasi pendidikan yang mendambakan keunggulan individu, masyarakat dan bangsa di tengah-tengah era otonomi daerah, era demokratisasi, era teknologi informasi dan kehidupan global. Akibatnya kualitas SDM yang dihasilkan dari lembaga pendidikan kita relative sangat rendah dan tertinggal dengan negara-negara tetangga. Hingga saat ini kualiatas pendidikan di Indoensia masih jauh tertinggal dengan kualitas pendidikan negara-negara lainnya, bahkan nyaris Indonesia berada pada posisi terbawah.
Dengan kondisi tersebut, perubahan orientasi pendidikan kita harus segera dilakukan reformasi (”revolusi”) secara mendasar (mind set pelaku) pada semua komponen dalam sistem pendidikan kita. Perubahan orientasi pendidikan tidak hanya berkutat pada perubahan kurikulum semata, namun yang terpenting saat ini adalah adanya “revolusi” sikap mental, pola pikir dan perilaku pelaku pendidikan (aparat, pengelola dan pengguna pendidikan) secara mendasar. Kebijakan ini dilakukan agar dapat mewujudkan pendidikan yang lebih demokratis, memiliki keunggulan komparatif dan kompetetif, memperhatikan kebutuhan daerah, mampu mengembangkan seluruh potensi lingkungan dan potensi peserta didik serta lebih mendorong peran aktif dari masyarakat. Untuk mendukung pencapaian kondisi tersebut, pengelola pendidikan hendaknya memiliki pemahaman konsep pendidikan yang komprehensif. Sejalan dengan era informasi dalam dunia global ini, pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam melestarikan sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan. Kondisi tersebut tidak dapat dielakkan bahwa dalam proses pendidikan tidak hanya pengetahuan dan pemahaman peserta didik yang perlu dibentuk (Drost, 2001: 11), namun sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat perkembangan komunikasi, informasi dan kehadiran media cetak maupun elektronik tidak selalu membawa pengaruh positif bagi peserta didik. Tugas pendidik dalam konteks ini membantu mengkondisikan pesera didik pada sikap, perilaku atau kepribadian yang benar, agar mampu menjadi agents of modernization bagi dirinya sendiri, lingkungannya, masyarakat dan siapa saja yang dijumpai tanpa harus membedakan suku, agama, ras dan golongan. Pendidikan diarahkan pada upaya memanusiakan manusia, atau membantu proses hominisasi dan humanisasi, maksudnya pelaksanaan dan proses pendidikan harus mampu membantu peserta didik agar menjadi manusia yang berbudaya tinggi dan bernilai tinggi (bermoral, berwatak, bertanggungjawab dan bersosialitas). Para peserta didik perlu dibantu untuk hidup berdasarkan pada nilai moral yang benar, mempunyai watak yang baik dan bertanggungjawab terhadap aktifitas-aktifitas yang dilakukan. Dalam konteks inilah pendidikan budi pekerti sangat diperlukan dalam kehidupan peserta didik di era globalisasi ini.
Dari uraian di atas, maka pendidikan di Indonesia era global ini perlu dilakukan perubahan sistem maupun strategi menghadapi era globalisasi ini sehingga dapat dipersiapkan generasi bangsa yang siap menghadapi era global dan tantangannya. Bagaimana strategi yang harus dipersiapkan dalam sistem pendidikan nasional?
Di dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 2 menerangkan bahwa “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan zaman.
Pada era globalisasi ini dunia pendidikan dituntut mempunyai peran ganda. Pertama harus mempersiapkan manusia yang berkualitas dan mampu berkompetisi sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi, atau manusia yang mempunyai kesiapan mental dan sekaligus kesiapan kemampuan skill (profesional). Kedua, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana dunia pendidikan ini mampu menyiapkan manusia yang berakhlak mulia. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa pembentukan pemerintah negara Indonesia yaitu antara lain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan upaya tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat (3) memerintahkan agar Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Di alam era globalisasi ini, tugas pendidikan, khususnya di Indonesia, di samping harus mampu menyiapkan manusia yang mampu berkompetisi, tetapi juga harus mampu menyiapkan peserta didik agar dapat menghadapi akulturasi budaya yang luar biasa, terutama dari Barat. Namun, perlu ditekankan, sebenarnya derasnya arus budaya manca negara ke Indonesia bukanlah presenden buruk bagi rakyat apabila mampu menyaring, mengambil yang baik, dan meninggalkan yang buruk (M. Imam Zamroni, 2004: 213). Pendidikan harus dapat berperan sebagai alat yang ampuh untuk menyaring budaya-budaya yang masuk dan sekaligus menguatkan budaya lokal yang memang masih perlu dijunjung. Dengan demikian, lembaga pendidikan dituntut, misalnya, harus menciptakan kurikulum yang dapat memberdayakan tradisi lokal, supaya tidak punah karena akibat pengaruh globalisasi yang tidak lagi mengenal sekat-sekat primordial dan batas-batas wilayah bangsa.



Strategi Pengembangan Pendidikan Indonesia Di Era Globalisasi

Untuk menjawab tantangan sekaligus peluang kehidupan global di atas, diperlukan sistem pendidikan yang dapat menjawab tantangan zaman. Untuk menentukan sistem pendidikan yang dimaksud, maka paradigma pendidikan harus kita luruskan terlebih dahulu. H.A.R. Tilar (2000:19-23) mengemukakan pokok-pokok paradigma baru pendidikan sebagai berikut: (1) pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yang demokratis; (2) masyarakat demokratis memerlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis; (3) pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global; (4) pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis; (5) di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, pendidikan harus mampu mengembangkan kemampuan berkompetisi di dalam rangka kerjasama; (6) pendidikan harus mampu mengembangkan kebhinekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan masyarakat, dan (7) yang paling penting, pendidikan harus mampu meng-Indonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa bangga menjadi warga negara Indonesia.
Sistem pendidikan harus dilakukan perubahan sesuai dengan tuntutan era globalisasi ini. Agar sistem pendidikan dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas dan dapat bersaing dengan yang lain.
Sejalan dengan pencapaian tujuan pendidikan, perlu diupayakan suatu sistem pendidikan yang mampu membentuk kepribadian dan ketrampilan peserta didik yang unggul, yakni beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa, manusia yang kreatif, cakap, terampil, jujur, dapat dipercaya, disiplin, bertanggung jawab dan memiliki solidaritas sosial yang tinggi. Moh Nuh dalam bukunya Menyemai Kreator Peradaban (renungan tentang pendidikan, agama, dan budaya), tahun 2014 mengatakan bahwa Abad ke-21 manusia harus memiliki beberapa keterampilan dasar penting : (1) pemikir kritis; (2) seorang penyelesai amsalah; (3) dapat berkomunikasi secara efektif; (4) dapat berkolaborasi secara efektif; (5) dapat mengarahkan diri sendiri; (6) paham akan komunikasi dan media; (7) paham dan sadar akan fenomena global; (8) memikirkaan kepentingan umum; (9) terampil dalam keuangan, ekonomi, dan kewirausahaan (Ken Key, President Partnership for 21st Century Skills).
Kita harus menyadari bahwa Indonesia masih dalam masa transisi dan memiliki potensi yang sangat besar untuk memainkan peran dalam globalisasi khususnya pada konteks regional. Inilah salah satu tantangan dunia pendidikan kita yaitu menghasilkan SDM yang kompetitif dan tangguh. Kedua, dunia pendidikan kita menghadapi banyak kendala dan tantangan. Namun dari uraian di atas, kita optimis bahwa masih ada peluang. Ketiga, alternatif yang ditawarkan di sini adalah penguatan fungsi keluarga dalam pendidikan anak dengan penekanan pada pendidikan informal sebagai bagian dari pendidikan formal anak di sekolah. Kesadaran yang tumbuh bahwa keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam pendidikan anak akan membuat kita lebih hati-hati untuk tidak mudah melemparkan kesalahan dunia pendidikan nasional kepada otoritas dan sektor-sektor lain dalam masyarakat, karena mendidik itu ternyata tidak mudah dan harus lintas sektoral. Semakin besar kuantitas individu dan keluarga yang menyadari urgensi peranan keluarga ini, kemudian mereka membentuk jaringan yang lebih luas untuk membangun sinergi, maka semakin cepat tumbuhnya kesadaran kompetitif di tengah-tengah bangsa kita sehingga mampu bersaing di atas gelombang globalisasi ini.
Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning (pandangan), repositioning strategy (strategi) , dan leadership (kepemimpinan). Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua.
Untuk membekali terjadinya pergeseran orientasi pendidikan di era global dalam mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang unggul, diperlukan strategi pengembangan pendidikan, antara lain:
a.      Mengedepankan model perencanaan pendidikan (partisipatif) yang berdasarkan pada need assessment dan karakteristik masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pendidikan merupakan tuntutan yang harus dipenuhi.
b.      Peran pemerintah bukan sebagai penggerak, penentu dan penguasa dalam pendidikan, namun pemerintah hendaknya berperan sebagai katalisator, fasilitator, dan pemberdaya masyarakat.
c.      Penguatan fokus pendidikan, yaitu fokus pendidikan diarahkan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, kebutuhan stakeholders, kebutuhan pasar dan tuntutan teman saing.
d.      Pemanfaatan sumber luar (out sourcing), memanfaatkan berbagai potensi sumber daya (belajar) yang ada, lembaga-lembaga pendidikan yang ada, pranata-pranata kemasyarakatan, perusahaan/industri, dan lembaga lain yang sangat peduli pada pendidikan.
e.      Memperkuat kolaborasi dan jaringan kemitraan dengan berbagai pihak, baik dari instansi pemerintah maun non pemerintah, bahkan baik dari lembaga di dalam negeri maupun dari luar negeri.
f.       Menciptakan soft image pada masyarakat sebagai masyarakat yang gemar belajar, sebagai masyarakat belajar seumur hidup.
g.      Pemanfaatan teknologi informasi, yaitu: lembaga-lembaga pendidikan baik jalur pendidikan formal, informal maupun jalur non formal dapat memanfaatkan teknologi informasi dalam mengakses informasi dalam mengembangkan potensi diri dan lingkungannya (misal; penggunaan internet, multi media pembelajaran, sistem informasi terpadu, dsb)

Pengembangan Kurikulum
Abad ke-21 manusia harus memiliki beberapa keterampilan dasar penting : (1) pemikir kritis; (2) seorang penyelesai amsalah; (3) dapat berkomunikasi secara efektif; (4) dapat berkolaborasi secara efektif; (5) dapat mengarahkan diri sendiri; (6) paham akan komunikasi dan media; (7) paham dan sadar akan fenomena global; (8) memikirkaan kepentingan umum; (9) terampil dalam keuangan, ekonomi, dan kewirausahaan (Ken Key, President Partnership for 21st Century Skills). Tahun 2013 pemerintah memberlakukan kurikulum 2013 yaitu penekanan pada pembentukan karakter generasi bangsa sehingga kleak menjadi generasi unggul, berkarakter dan bermartabat. Moh Nuh sebagai penggagas Kurikulum 2013 mengatakan dalam bukunya Menyemai Kreator Peradaban (renungan tentang pendidikan, agama, dan budaya) Tahun 2014 mengatakan bahwa arahnya adalah peningkatan kompetensi yang utuh antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Ukuran keberhasilan peserta didik dapat dilihat dari pertambahan pengetahuannya, peningkatan keterampilannya, dan kemuliaan kepribadiannya. Disinilah peran guru harus menjadi role model (teladan), mejadi pendengar yang baik. Kalau guru mengajar dengan hati, murid akan mendengarkan dengan hati. Guru yang mengajar dengan cinta, murid pasti akan membalasnya dengan cinta. Guru yang pandai menghargai murid, murid pasti menghargai guru.

Pengembangan Pendidikan Karakter Bangsa
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Oleh karena itu, Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa diarahkan pada upaya mengembangkan nilai-nilai yang mendasari suatu kebajikan sehingga menjadi suatu kepribadian diri warga negara (Kemdiknas, 2011: 7). Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter bangsa pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional (Depdiknas, 2010: 7). Menurut Pedoman Sekolah tentang Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter bangsa (2010) delapan belas nilai karakter yang dikembangkan meliputi: (1) jujur, (2) disiplin, (3) religius, (4) toleransi, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (l2) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komuniktif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung jawab.

Untuk dapat mencapai tujuan pendidikan seperti yang tersebut di atas, maka Masyarakat dan para orang tua ikut berperan aktif dalam proses pendidikan terutama pendidikan di lingkungan keluarga harus selaras dan sejalan dengan pendidikan di sekolah. Kedua Pemerintah harus mengalokasikan anggaran yang cukup untuk peningkatan kualitas penidikan baik sarana maupun spendidik karena era globalisasi iin membutuhkan peningkatan perkembanagn wawasan secara cepat agar kualiats pendidikan dapat terjamin.

Semoga bangsa Indonesia akan semakin menjadi bangsa yang besar dengan generasinya yang unggul dan kompetetif, bagaimana menurut saudara...


Selasa, 23 Oktober 2018

TUMBUHKAN RASA EMPATI



TUMBUHKAN RASA EMPATI
(Mengasah Kecerdasan Emosional)
Heri Murtomo (Pendidik di Surabaya)

Akhir-akhir ini sering kita temui, tindakan anarkis di lingkungan masyarakat kita, perilaku mudah menyalahkan oranga lain, tidak dapat menerima pendapat orang lain, sering bersikap bohong kepada publik, dan bahkan melakukan tindakan agresif-anarkis sebagai bentuk reaktif terhadap protes. Perilaku-perilaku tersebut yang banyak kita temui sekarang ini justru menjangkit para orang dewasa yang harusnya menjadi teladan bagi generasi bangsa. Secara tidak langsung perilaku-perilaku tersebut akan di lihat dan di contoh oleh generasi bangsa ini. Jika hal ini dibiarkan bagaikan bola liar tanpa pencegahan dini maka generasi bangsa yang akan datang justru akan menjadi generasi yang lebih reaktif-anarkis.
Bentuk preventif yang dapat kita lakukan adalah dengan membangun kecerdasan emosional anak dalam proses pendidikan sehingga kelak bangsa ini akan menjadi bangsa yang memiliki sopan-santun dan adab dalam kehidupan bemasyarakat sebagaimana bangsa ini di kenal sejak dulu kala dengan sikapnya itu.

Setiap manusia dilahirkan dengan potensinya masing-masing, potensi yang dimiliki manusia tak terbatas dengan berbagai macam kecerdasan yang dimilikinya. Ada beberapa kecerdasaan yang dimiliki oleh setiap manusia menurut beberapa ahli. Salah satu kecerdasan yang memiliki hubungan erat dengan kecerdasan intektual anak adalah kecerdasan emosional. Anak dengan kecerdasan intelektual tinggi tidak menutup kemungkinan dalam menjalani kehidupannya kelak akan terperosok ke dalam kehinaan dan kebrutalan yang keluar norma agama maupun norma bangsa. Bahkan dalam berkehidupan bermasyarakat sulit untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Keberhasilan seseorang dalam menjalani hidup bukan hanya ditentukan oleh intelligence quetion (IQ), namun kecerdasan emosi juga memiliki peranan yang sangat penting (Dr. Antonio Damasio dalam buku Agus Efendi dengan judul Revolusi kecerdasan Abad 21, 2005). Kecerdasan emosional memiliki peran besar dan penting dalam kehidupan anak kelak, pendapat Daniel Golemen dalam Agus Efendi dalam buku Revolusi Kecerdasan abad 21 (2005), kecerdasan akademis sedikit saja kaitannya dengan kehidupan emosional. Orang yang paling cerdas di antara kita dapat terperososk ke dalam nafsu tak terkendali dan impuls meledak-ledak.

Kecerdasan emosional memberi kesadaran akan perasaan diri-sendiri dan perasaan orang lain. Dengan memahami perasaan orang lain maka seseorang akan mudah  beradaptasi di lingkungannya. Anak dengan kecerdasan emosonal tinggi akan mudah beradaptasi dan meraih kesuksesan karena rasa empati, disiplin dan menghargai orang lain sedangkan sebaliknya bagi anak dengan kecerdasan emosonal rendah.
Ariatoteles yang dikuitp Daniel Golemen(1994): siapapun bisa marah-itu mudah, tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik bukanlah hal mudah.
Kecerdasan emosinal memiliki peran yang sangat penting dalam proses kehidupan anak kelak. Anak yang memiliki kecerdasan emosional baik maka akan mampu mempertahankan bahkan mencapai sukses dalam hidupnya sedangkan bagi anak dengan kecerdasan emosional rendah akan sebaliknya. Dari hal ini maka sangat penting kiranya anak sejak usia TK sampa dengan baliqh dilatihkan dan ditumbuhkan kecerdasan emosionalnya.

Pembentukan kecerdasan emosional di dalam buku Manhaj At-Tarbiyyah An-Nabawiyyah lit-Thifl karangan Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid (2009) dikatakan bahwa pembinaan paling ideal untuk pembinaan kecerdasan emosional adalah masa taman kanak-kanak hingga usia baliqh. Dalam pembinaan kecerdasan emosional dapat dilakukan antara lain pembinaan aqidah, ibadah , kemasyarakatan, dan adabnya. Pembinaan kemasyarakatan dilakukan dengan tujuan agar dia bisa beradaptasi dengan lingkungan kemasyarakatannya, dengan orang-orang yang dewasa atau dengan teman sebayanya, dan juga agar mempunyai peran positif. Demikian juga agar dia terhindar dari sifat memikirkan diri sendiri dan rasa malu yang tidak pada tempatnya, dia akan menerima dan memberi dengan tata krama, dan juga melakukan interaksi sosial.
Dari hal di atas bahwa kecerdasan emosional memiliki Hakekat yang sangat signifikan dalam proses menghadapi kehidupan anak di masa yang akan datang. Dengan kecerdasan emosional yang baik maka anak akan menjadi pribadi yang baik yang dengan mudah dapat memahami orang lain, begitu sebaliknya.

Kecerdasan emosional adalah jenis kecerdasan yang mencakup pengendalian diri, semangtat, dan ketekunan, dan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Keterampilan-keetrampilan itu bisa dipraktikkan. Perlunya kecerdasan emosional bertumpu pada hubungan antara perasaan, watak, dan naluri moral.
Dalam konteks hubungan emosi dan motivasi, tindakan memotivasi harus dilakukan dengan menyentuh emosi. Karena emosi yang negatif akan melahirkan tindakan negatif pula, begitu sebaliknya, Dean R. Spitzer (1995) dalam bukuAgus Efendi (2015). Dalam kecerdasan emosional yang menyangkut kehidupan anak kelak adalah kemampuan memahami diri-sendiri dan memahami orang lain. Daniel Goleman (2002) mengatakan bahwa kecerdasan emosional menjadi lima kemampuan utama, yaitu:
Terdapat empat ranah dalam Kecerdasaan Emosi (Emotional Quotion), yaitu:
1.      Kesadaran Diri, yaitu mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi, yang meliputi: kesadaran emosi, penilaian diri secara teliti dan percaya diri.
2.      Mengelola emosi, yaitu kemampuan menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap tanpa melewati kewajaran, meliputi: kendali diri, dapat dipercaya, kewaspadaan, adaptibilitas, dan inovasi,
3.      Mmeotivasi diri-sendiri, yaitu memiliki kecenderungan emosi yang mendorong pencapaian tujuan, meliputi dorongan berprestasi, komitmen, inisiatif, serta optimisme.
4.      Mengenali emosi orang lain, yaitu memiliki kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain, yang terdiri dari memahami orang lain, orientasi akan pelayanan, dan mampu mengembangkan orang lain, serta mengatasi keberagaman, mampu berkomunikasi dengan baik, merupakan katalisator perubahan, mampu mengelola konflik, mampu berkoolaborasi dan berkooperasi, serta kemampuan bekerja dalam tim.

Aplikasi dalam Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran di kelas merupakan saran yang paling tepat untuk membangun keecrdasan emosional anak. Membangun kecerdasan emosional anak dapat dilakukan dengan memberikan pembiasaan kepada siswa dalam bergaul, beradaptasi, dan menyelesaikan masalah sederhana bersama dengan teman di kelasnya. Dalam proses pembelajaran kecerdasan emosional dapat dikembangkan dengan metode belajar diskusi, problem solving dll. Dengan berbagai metode belajar maka siswa akan dapat memahami temannya sebagai orang lain, menerima pendapat orang lain dan menerima kekurangan orang lain. Disamping itu pembentukan karakter, salah satunya adalah berempati dengan memberikaan sumbangan kepada korban bencan apada saudara kita di Donggala, Palu, dan Sulawesi merupakan pembentukan rasa empati dan salah satu cara meningkatkan kecerdasan meosional.
Secara keseluruhan membangun kecerdasan emosional anak di sekolah dapat juga dilakukan dalam bentuk kegiatan intra kurikuler dan ekstrakuirkuler.

Munculnya Kurikulum 2013 arahnya adalah peningkatan kompetensi yang utuh antara pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Ukuran keberhasilan peserta didik dapat dilihat dari pertambahan pengetahuannya, peningkatan keterampilannya, dan kemuliaan kepribadiannya. Disinilah peran guru harus menjadi role model (teladan), menjadi pendengar yang baik. Kalau guru mengajar dengan hati, murid akan mendengarkan dengan hati. Guru yang mengajar dengan cinta, murid pasti akan membalasnya dengan cinta. Guru yang pandai menghargai murid, murid pasti menghargai guru. Dalam proses pendidikan sekarang ini diharapkan Indonesia dapat menyiapkan generasi abad 21 yaitu generasi yang memiliki kompetensi :
1.      Religious Literacy, Religious Literacy adalah sikap terbuka untuk mengenal nilai-nilai dalam agama lain. Dengan mengenal agama lain orang bisa sungguh saling mengenal, saling menghormati dan menghargai, saling bergandengan, saling mengembangkan dan memperkaya kehidupan dalam sebuah persaudaraan sejati antar umat beragama. Harmoni dalam kehidupan bermasyarakat akan tercipta jika religious literacy kita terus meningkat.
2.      Memiliki beberapa keterampilan dasar penting : (1) pemikir kritis; (2) seorang penyelesai amsalah; (3) dapat berkomunikasi secara efektif; (4) dapat berkolaborasi secara efektif; (5) dapat mengarahkan diri sendiri; (6) paham akan komunikasi dan media; (7) paham dan sadar akan fenomena global; (8) memikirkaan kepentingan umum; (9) terampil dalam keuangan, ekonomi, dan kewirausahaan (Ken Key, President Partnership for 21st Century Skills).
3.      Memiliki pola pikir terbuka (open mind) dan selalu berorientai mencari jawaban, efektif dalam pembiayaan, selalu menjaga harkat, martabat, dan patuh dengan pranata hukum, dan kebiasaan tepat waktu.
Jika dalam proses pembelajaran dan pendidikan dapat membangun kecerdasan emosional seperti tersebut di atas maka generasi yang akan datang akan menjadi generasi yang handal dan tidak tergilas zaman.

Bagaimana menurut saudara....????
 Image result for gambar anak bemain kelompok



Senin, 26 Maret 2018

MEMBANGUN BUDAYA SANTUN


MEMBANGUN BUDAYA SANTUN
Melalui
PENYAMBUTAN SISWA PAGI HARI

Seorang anak perempuan kelas satu itu menangis di depan gerbang masuk sekolahan setelah turun dari mobil orang tua yang mengantarkannya. Mengetahui salah satu muridnya menangis dengan sigap salah seorang ustadzah yang melakukan penyambutan pagi itu mendekati sambil memeluknya. Anak pinter kok menangis, ayo masuk kelas sudah ditunggu ustadzah. Namun si anak tetap menggelengkan kepalanya sambil menangis terisak-isak. Dibelai kepala si anak oleh ustadzahnya sambil dibisikan kalimat, pingin jadi anak pintar kan, si anakpun menganggukkan kepalanya. Lanjut ustadzah, anak pintar harus rajin sekolah, patuh sama orang tua dan ustadz-ustadzahnya, anak pintar tidak boleh menangis kalau berangkat sekolah, harus semangat. Dengan tatapan matanya kepada ustadzah si anak menganggukan kepala dan akhirya mau masuk gerbang sekolah. Dengan rasa kasih sayang digandenglah tangan si anak sampai masuk ke kelasnya.
Itulah salah satu sekelumit kisah yang terjadi pada penyambutan siswa di pagi itu.

Penyambutan siswa yang dilakukan oleh guru pagi hari di depan gerbang sekolah secara tidak langsung telah memberikan teladan kepada siswanya tentang bagaimana berlaku santun saat bertemu dengan guru atau orang lain dan memberikan dampak posistif luar biasa untuk membangun motivasi anak dalam mengikuti pembelajaran.

Membangun budaya santun bukan hanya sekedar memberikan pengertian kepada siswa tentang sikap santun di dalam proses pembelajaran, namun yang lebih penting dan efektif adalah memberikan keteladanan.

Di era digital yang super canggih ini lambat laun telah melunturkan sikap santun anak-anak kepada orang lain. Anak-anak sudah tidak dapat menghargai orang lain bahkan dengan guru dan orang tuanyapun mereka dapat bersikap keji. Banyak kita temukan di media massa berbagai kasus perilaku anak yang keji baik kepada temannya, gurunya, bahkan orang tuanya. Kasus yang menghebohkan dunia pendidikan yang baru-baru ini terjadi di Sampang, Madura, seorang siswa menghajar gurunya pada saat proses pembelajaran yang pada akhirnya guru tersebut tewas.

Masih banyak kejadian serupa tentang perilaku anak yang sangat keji. Perilaku ini telah merasuki jiwa anak sehingga rasa kasih-sayang kepada sesama dan rasa hormat kepada orang tua dan gurunya telah pudar. Tidak dapat dipungkiri salah satu efek negatif dari era digital yang super canggih ini adalah lunturnya sikap menghargai antar sesama, rasa kasih-sayang, dan rasa hormat kepada yang lebih tua, guru, maupun orang tuanya.

Jika hal ini dibiarkan berlarut maka generasi yang akan datang sudah sangat sulit membedakan antara yang hak dan yang bathil, mereka hanya akan mengetahui bahwa keinginannya harus dipenuhi, tanpa mempedulikan kasih-sayang dan sopan-santun. Dari sinilah pentingnya pembentukan karakter bagi generasi bangsa. Pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa (Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Kemendiknas, 2010). Dunia pendidikan sebagai salah satu ujung tombak pembentukan karakter anak diharapkan mampu mengatasi persoalan tersebut.

Bentuk-bentuk kegiatan yang bagaimana yang dapat membangun rasa kasih sayang dan sopan santun anak didik?

Membangun rasa kasih sayang dan sopan santun kepada anak didik tidak dapat dikakukan hanya dengan memberikan ceramah, mengingtakan dengan lisan namun juga harus diberikan keteladanan. Salah satu bentuk keteladanan yang dapat diberikan adalah dengan melakukan penyambutan siswa di pagi hari.

Penyambutan siswa di pagi hari di depan gerbang sekolah yang dilakukan oleh guru 30 menit sebelum bel tanda masuk berbunyi, memiliki dampak positif yang luar  biasa :

·           Siswa
-      Siswa akan merasa nyaman dan tenang memasuki gerbang sekolah ketika melihat penyambutan gurunya yang penuh kasih sayang
-      Siswa merasa diberikan perhatian oleh gurunya
-      Siswa akan merasa adanya kedekatan emosional dengan gurunya
-      Siswa akan merasa bersalah jika bersikap tidak baik
-      Sapaan salam guru kepada siswa memberikan motivasi tersendiri bagi diri anak.
-      Secara berangsur siswa akan malu untuk terlambat datang ke sekolah
-      Siswa telah diberikan keteladanan bersikap sopan santun
-      Siswa telah diberikan keteladanan menghargai orang lain, menghormati guru.

·           Guru
-      Lebih cepat mengetahui kondisi awal sikap atau motivasi anak didiknya
-      Dapat memberikan penanganan lebih awal jika ada siswa yang bad mood atau kurang motivasi.
-      Adanya kedekatan emosional dengan siswanya
-      Memberikan keteladanan kedisiplinan, kasih sayang dan menghormati orang lain kepada anak didiknya.
-      Dapat menumbuhkan semangat belajar anak didiknya
Di atas tersebut mungkin hanyalah sebagian kecil manfaat penyambutan siswa di pagi hari dan masih banyak dampak posistif luar biasa lainnya.

Jika setiap sekolah dapat menerapkan hal tersebut, saya yakin pada masa yang akan datang akan tumbuh generasi bangsa yang penuh kasih sayang, sopan santun , menghargai orang lain dan menghormati yang lebih tua. Perilaku-perilaku keji anak didik akan tereliminasi dnegan sendiri oleh keteladanan sang guru.

Selamat Berjuang Guru Indonesia......keikhlasan hatimulah yang akan membangun generasi masa depan bangsa kita.





Senin, 19 Maret 2018

MENGUAK TABIR POTENSI ANAK USIA SEKOLAH DASAR


MENGUAK TABIR POTENSI
ANAK USIA SEKOLAH DASAR

Anak merupakan putra-putri sang hidup yang rindu pada diri-sendiri, yang jiwanya adalah penghuni rumah masa depan, yang kehidupannya akan terus berlangsung tiada henti sampai segala sesuatunya berakhir (Khalil Gibran dalam Kartini, Kartono, 1990)

Anak dilahirkan dengan potensi dan keunikannya masing-masing. Mereka terlahir sebagai anak yang unik. Setiap anak berbeda dengan lainnya, bahkan anak kembarpun memiliki potensi dan kelemahan yang berbeda.
Sebagai orang tua anak adalah segalanya, merekalah generasi penerus orang tua, anak bagaikan harta berlian yang tak terhingga nilainya. Dari pandangan tersebut, sebagian umum orang tua akhirnya berambisi untuk menjadikan anak mereka harus seperti orang tuanya atau bahkan lebih dari orang tuanya.
Karena ambisi orang tuanya maka tidak sedikit orang tua yang memperlakukan anak sesuai dengan keinginannya dan sangat sedikit sekali orang tua yang dapat memahami potensi yang dimiliki si anak. Padahal anak bukanlah diri orang tuanya tetapi anak adalah jiwa penghuni rumah masa depan yang memiliki kehidupan sendiri.
Sehingga tidak jarang orang tua menginginkan anaknya menjadi pandai di sekolahnya, menjadi juara kelas, nilai-nilai akademiknya selalu sempurna karena hingga saat ini para orang tua masih berpandangan bahwa tolok ukur keberhasilan adalah jika nilai akademik anaknya mendapatkan sempurna dan menjadi juara di kelasnya. Disamping itu masih adanya anggapan orang tua bahwa kesuksesan anak tergantung dari nilai akademiknya, jika nilai akademiknya sangat bagus seakan sudah dijamin bahwa anak tersebut akan sukses.
Pandangan orang tua tentang kesuksesan anak seperti tersebut di atas itu yang harus diluruskan sehingga para orang tua akan semakin memahami potensi pada anak dan dapat memberikan support untuk mengembangkan potensinya.
Faktor yang paling dominan mempengerauhi keberhasilan (Kesuksesan) individu dalam hidupnya bukan semata-mata ditentukan oleh tingginya kecenderungan intelektual, tetapi oleh faktor kematangan emosional (Daniel Goleman dalam Syamsul Yusuf, 2005).
Dari pendapat pakar psikologi di atas tergambar dengan jelas bahwa intelektual yang tinggi bukanlah satu-satunya penentu keberhasilan atau kesuksesan anak, namun mengembangkan kematangan emosionalnya yang lebih urgen karena salah satu faktor itulah yang akan membawanya untuk mencapai kesuksesan dan yang paling utama adalah faktor spiritualnya.
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungan di mana ia hidup. Tanpa masyarakat, kepribadian seseorang tidak akan berkembang. Anak belajar dan diajar oleh lingkungannya, mengenai bagaimana ia harus bertingkah laku yang baik atau yang tidak baik. Lingkunagn itu dapat berarti orang tua, saudara, teman, atau gurunya. Karena orang yang paling bergantung seorang anak adalah orang tuanya maka peranan orang tua sangat menentukan perkembangan moral anak tersebut (Sally S. Adiwardhana dalam Singgih Gunarsa, 2008).
Dari pendapat di atas sangat jelas bahwa lingkungan baik keluarga maupun masyarakat memiliki pengaruh yang dominan terhadap perkembangan spiritual dan emosional anak. Orang tua berperan penting dalam perkembangan anak untuk meraih keberhasilan.
Beberapa sikap orang tua yang perlu mendapat perhatian, guna perkembangan moral anak adalah :
-     Konsistensi dalam mendidik dan mengajar anak-anak.
-     Sikap orang tua dalam keluarga.
-     Penghayatan orang tua akan agama yang dianutnya.
-     Sikap konsekuen dari orang tua dalam mendisiplinkan anaknya.
Untuk dapat membangun karakter anak agar potensinya dapat dikembangkan maka orang tua sudah harus membangun kebiasaan-kebiasaan positif sejak dini.
Dalam Psikologi Perkembangan bahwa pada masa anak usia sekolah dasar adalah masa kritis dalam dorongan berprestasi, artinya pada masa ini anak membentuk kebiasaan untuk mencapai sukses atau tidaknya, bekerja di atas rata-rata atau sebaliknya. Tingkat perilaku berprestasi ini mempunyai korelasi yang sangat tinggi dengan berperilaku pada masa dewasa (Hurlock, 1994).
Dari pendapat di atas artinya bahwa pada masa usia sekolah dasar adalah masa untuk membentuk karakter berprestasi dan suskes karena karakter tersebut akan mempunyai korelasi yang sangat tinggi pada waktu dewasa kelak.
Dari sinilah bahwa masa usia sekolah dasar adalah masa paling emas untuk membentuk perilaku anak.
Pada masa usia sekolah dasar pikiran anak berkembang secara berangsur-angsur dan tenang, pengetahuannya berkembang secara pesat, minat pada segala sesuatu yang bergerak, ingatan mencapa intensitas paling besar dan paling kuat, daya menghafal dan daya memorinya paling kuat, anak mampu  memuat jumlah materi ingatan paling banyak (Kartono, Kartini, 1990).
Dengan kemampuan kognitif anak yang sangat besar dan kuat itulah maka pada masa usia sekolah dasar ini adalah masa paling tepat untuk membentuk sikap berprestasi dan karakter positif lainnya. Jika masa emas atau masa peka ini dibiarkan berlalu begitu saja tanpa dioptimalkan maka yang terjadi adalah sebaliknya, jika kelak dewasa anak tidak memiliki sikap berprestasi semua itu adalah hasil dari masa usia sekolah dasar.
Untuk dapat mengembangkan kemampuan secara optimal pada masa ini anak sudah membutuhkan lingkungan yang lebih luas, lingkungan keluarga sudah tidak lagi mampu memberikan fasiltas untuk mengembangkan fungsi-fungsi intelektual anak, maka anak memerlukan suatu lingkungan sosial yang baru dan lebih luas yaitu sekolah.
Dari lingkungan sekolah inilah kemampuan anak daapt dikembangkan secara optimal baik kemampuan intelektual maupun emosional dan spiritualnya. Pada masa ini juga anak-anak mulai tertarik dengan hal-hal rumit bahkan untuk pelajaran berhitung yang rumit-rumit mulai disukai.
Dengan kondisi perkembangan intelektual yang begitu pesat maka masa ini disebut juga dengan masa peluang emas. Di masa inilah segala potensi anak dapat diketahui dan dikembangkan secara optimal. Kesuksesan anak pada masa dewasa kelak bergantung pembentukan sikap pada masa usia sekolah dasar. Begitu juga dengan karakter-karakter positif lainnya, jika pada masa ini kurang dikembangkannya pembentykan karakter-karater yang posiyif maka sikap pada waktu dewasapun menjadi kurang baik.
Pada masa usia sekolah dasar ini lah masa potensi terbesar anak untuk dapat dikembangkan dan dioptimalkan sehingga pada dewasa kelak akan menjadi anak yang sukses dengan sikap dan perilaku yang memliki emosional, spiritual, dan intelektual yang tinggi.
Jika pada masa ini dibiarkan berlalu tanpa adanya pembiasaan untuk memebentuk karakter positif dan mengembangkan kemampuannya maka yang terjadi adalah sebaliknya. Dan yang paling berbahaya adalah jika kita tidak mampu dan tidak tahu perkembangan perilaku anak pada masa ini.
Bagi banyak orang tua masa usia sekolah dasar adalah masa yang menyulitkan karena pada masa ini anak tidak mau lagi menuruti perintah orang tua dan dimana ia lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman sebaya. Inilah tantangan terberat bagi orang tua ketika anak-anak mencapai masa usia sekolah dasar padahal disatu sisi inilah masa paling emas untuk mengembangkan potensi dan sikap atau karakter positif anak.
Disinilah peran dan sikap orang tua sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter dan pengembangan potensi anak. Sikap orang tua yang tenang dan bijaksana, mengutamakan kasih sayang dan tidak dengan ancaman atau kekerasan. Jika orang tua memberikan sikap tersebut maka anak akan merasa nyaman dan tenang dalam melakukan aktifitasnya dan mengembangkan dirinya, merasa enjoy sehingga akan tumbuh rasa percaya diri akan kemam;puannya. Namun justru sebaliknya di saat anak berada di lingkungan sekolah anak membutuhkan ketegasan dari pendidik. Disiplin sekolah dan kewibawaan para guru memberikan kegairahan belajar anak. Tidak jarang anak terikat hatinya dengan guru.
Menanamkan pembiasaan untuk berperilaku posiitif, membentuk karakter yang baik, menguatkan tingkat spiritual, dan membangun emosional agar menjadi anak yang sholih-sholihah merupakan bentuk pembentukan karakter yang akan sangat mudah dan memiliki potensi luar biasa untuk dapat dikembangkan di sekolah dasar. Jika hal tersebut sudah menjadi budaya di sekolah dasar maka kelak sampai dewasa anak sudah terbentuk memiliki kepribadian yang baik. Namun sebaliknya jika sekolah dasar tidak dapat memanfaatkan peluang emas ini dengan baik, maka kelak generasi kita akan menjadi generasi yang lemah. Disinilah peran utama pendidikan di sekolah dasar. Bagaimana menurut saudara...????