Edisi
Khusus
Hari
Pendidikan (21 Mei 2014)
|
Pada masa sekarang ini kita banyak
disuguhkan perilaku para pelajar yang menyimpang dari norma masyarakat, norma
agama, bahkan norma negara. Banyak kita baca dan kita dengar di media massa
maupun media elektronik para pelajar yang melakukan tindakan tawuran antar
geng, perampokan oleh pelajar, sex bebas, narkoba, bahkan curanmor. Zaman
sekarang ini sudah dikatakan edan(jawa), kata pepatah jawa , yen ora ngedan ora
keduman, becik-becike wong sih eling lan waspada. Melihat kenyataan seperti ini
semua orang tua dan masyarakat maupun
pemerintah berpendapat bahwa para pelajar sekarang ini sudah tidak
memiliki kepribadian, kesopanan, kedisiplinan, dan kejujuran yang baik, namun
sudah terbentuk akhlak yang buruk. Para orang tua dan masyarakat lupa bahwa
yang dilakukan oleh para pelajar dikarenakan para orang tua mereka atau panutan
masyarakat, mereka telah memberikan contoh lewat perilaku mereka yaitu
melakukan perampokan uang negara, sex bebas, curanmor dll. Orang tua,
masyarakat dan pemerintah hanya melihat dari salah satu sisi, bahwa kenyataan
tersebut disebabkan gagalnya proses pendidikan di sekolah. Orang tua dan masyarakat beranggapan bahwa selama ini sekolah hanya
memberikan materi-materi pelajaran untuk menghadapai Ujian Nasional atau Ujian
tulis lainnya untuk mencapai nilai akademik yang memuaskan. Nilai akademik
dianggap indikator strata sekolah, jika semakin tinggi nilai akademik sekolah
maka sekolah tersebut masuk dalam strata/grade high, begitu juga sebaliknya.
Pendapat masyarakat di atas ternyata tidak seluruhnya betul. Mendengar opini
serta argumentasi yang disampaikan masyarakat mengenai hal tersebut mendekati
kebenaran, akhirnya pemerintah justru ikut terseret dengan opini tersebut.
Pemerintahpun mengambil kebijakan untuk memasukan Budi Pekerti kepada setiap
mata pelajaran. Bahkan sejak kurikulum 1994 pemerintah memasukan pendidikan
karakter untuk setiap mata pelajaran. Kebijakan ini di lakukan untuk menekankan
pendidikan karakter di sekolah pada proses pendidikan sehingga harapan kelak
akan terbentuk generasi yang berkarakter terpuji. Apa yang dilakukan pemerintah
ini menunjukkan bahwa pemerintah semakin tidak paham dengan tugas guru sejati,
sudah mulai ada ketidak percayaan kepada guru, dan yang lebih parah lagi hal
ini sebenarnya hanya menambah beban administratif guru. Pemerintah lupa bahwa
guru bukan hanya sekedar mengajar namun juga mendidik. Kedua hal ini merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan, bagaikan satu mata uang. Pada saat guru sedang
mengajar dan mendidik di dalam kelas sebenarnya yang sedang ia ajarkan adalah
hidup sang guru itu sendiri. Palmer (1998); mengajar, sebagaimana kegiatan
manusiawi lainnya, muncul dari kedalaman diri individu. Palmer (1998);
pengajaran yang baik berasal dari identitas dan integritas sang guru. Dari
opini masyarakat dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah membuat guru semakin
pada posisi terjepit. Guru selama ini telah mendidik karakter yang baik kepada
peserta didiknya. Dalam diri dan jiwa guru tidak ada guru yang membiarkan
peserta didiknya akan menjadi sampah masyarakat, memiliki sifat tercela dan
tidak berguna.
Bagaimana pendidikan karakter harus di
bentuk pada diri peserta didik agar kelak menjadi generasi bangsa yang unggul
dan berkarakter?
Masalah tersebut tidak dapat ditumpukan
pada satu orang namun bergantung kolaborasi dari guru, orang tua/masyarakat dan
pemerintah.
GURU
Pendidikan karakter pada dasarnya bukan
memberikan materi ajar atau pelatihan namun pendidikan karakter adalah
keteladanan dalam hidup dan kehidupan. Setelah memberikan keteladanan maka
karakter tersebut akan menjadi kebiasaan sehingga akan terwujud budaya dalam
peradaban masyarakat. Lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat maupun negara
adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ketiganya harus saling
mendukung, memberikan support untuk melaksanakan visi besar menjadikan generasi
bangsa yang memiliki karakter terpuji.
Guru sebagai pendidik karakter di
sekolah telah melakukan pendidikan karakter melalui keteladanan selama berada
di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Keteladanan guru tersebut
ditunjukkan dengan cara berbicara, berpakaian, menghargai orang lain, menerima
pendapat orang lain, kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, sabar, dll.
Karakter tersebut di samping ditunjukkan melalui keteladanan juga diterapkan
dalam kehidupan di sekolah dan dalam proses belajar mengajar. Dalam proses
belajar mengajar bahkan guru mempraktikan melalui pembelajaran, bagaimana
berdiskusi menghargai pendapat orang lain, bagaimana menghargai kekurangan
orang lain, bagaimana berdemokrasi dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut
hampir setiap hari dan setiap waktu guru memberikan keteladanan. Bahkan di
dalam kehidupan sekolah guru sudah sangat menyadari dan memahami bahwa
pembentukan karakter tidak dapat dilakukan hanya melalui paksaan, penjelasan,
aturan-aturan belaka atau reward-reward sesaat, karena hal ini hanya melahirkan
pemampatan batas-batas peranan, namun pembentukan karakter harus melalui keteladan,
pembiasaan, praktik dalam kehidupan masyarakat kecil atau sekolah. Dengan hal
begini maka dalam kehidupan masyarakat sekolah akan terbentuk budaya yang
berkarakter.
Kenyataan yang terjadi di masyarakat
apa yang telah dilakukan oleh guru di sekolah seakan-akan terpisah dengan apa
yang dilakukan orang tua di rumah atau masyarakat yang lebih besar.
Bagaimana seharusnya orang tua
melakukannya?
ORANG TUA
Keluarga atau orang tua serta saudara
adalah lingkungan kecil yang memiliki peranan penting dalam pembentukan
karakter anak selain di sekolah. Ibu, Ayah, Kakak atau saudara lainnya adalah
contoh nyata di hadapan anak-anak yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi kepribadiannya.
Untuk itu pola kehidupan di rumah haruslah selaras dengan kehidupan di sekolah.
Hal ini bukan berarti orang tua di rumah belum menerapkan atau memberikan
keteladana kepada anak mengenai karakter yang terpuji. Namun masih banyak
ditemui bahwa justru karakter buruk anak diperoleh dari rumahnya. Jika
pembentukan karakter anak di rumah selaras dengan pembentukan karakter di
sekolah maka anak akan merasakan bahwa kehidupan di sekolah merupakan bagian
dari kehidupan di rumah begitu juga sebaliknya. Sekolah merupakan rumah
keduanya begitu juga rumah merupakan sekolah bagi dirinya. Jika pembiasaan
seperti ini berlangsung secara kontinu maka kepribadian anak akan terbentuk
dengan baik. Namun tidak sedikit hubungan sekolah dengan rumah terputus. Yang
terjadi adalah lingkungan sekolah bukan bagian dari lingkungan rumah, persepsi
ini timbul pada diri anak karena merasakan perbedaan yang terjadi pada dua
lingkungan tersebut. Suatu misal di rumah anak sering melihat kedua oarng
tuanya bertengkar, mengeluarkan kata-kata kotor, sering menghakimi saudaranya,
berlaku keras terhadap diri anak, memberikan perintah tanpa penjelasan, tidak
pernah meminta pendapat anak bahkan yang lebih parah melihat orang tuanya
berlaku menyimpang norma masyarkat, agama, dan negara. Bukan hanya sekedar itu
orang tua tidak pernah ada waktu untuk sekedar menanyakan keadaan anak selama
di sekolah, orang tua terlalu sibuk denga pekerjaanya, bagi yang berekonomi
high sibuk dengan meetingnya, sedangkan bagi yang berekonomi sulit sibuk
bekerja mencari sesuap nasi. Dari keadaan tersebut anak merasa bahwa dirinya
seorang diri, tidak ada yang mau peduli, tidak ada yang dapat memberikan
keteladanan di rumah, sehingga persepsi anak bahwa keteladanan di sekolah hanya
sebatas kehidupan di sekolah sebagai pelajar setelah di luar sekolah terserah
dirinya. Akhirnya yang terjadi anak berperilaku menyimpang norma masyarakat,
agama, dan negara. Mereka mencari komunitas yang dapat menghargai, menerima dan
mengayomi mereka selama di luar sekolah. Mereka memilih komunitas menurut
kesenangan mereka tetapi tidak melihat bahwa komunitas yang dipilih adalah
komunitas anak-anak yang berkarakter tidak terpuji.
Fenomena para pelajar tersebut membuat
orang tua mereka menyalahkan sekolah yang selama ini para orang tua telah menyerahkan
anak sepenuhnya kepada sekolah, orang tua beranggapan bahwa sekolah harus bisa
mendidik anaknya menjadi baik karena sekolah bisa segalanya. Orang tua tidak
mau dijadikan orang yang juga harus bertanggung jawab terhadap pendidikan
anaknya, para orang tua sudah sibuk bekerja mencari uang. Sehingga setelah
melihat kenyataan tersebut orang tuanya menyalahkan sepenuhnya kepada sekolah.
Mendengar opini masyarakat tentang hal itu, pemerintah ikut terseret dengan
opini tersebut. Akhirnya mengambil beberapa kebijakan untuk menyelesaikan
masalah tersebut.
PEMERINTAH
Fenomena perilaku pelajar di masyarkat
yang semakin meresahkan ditambah dengan opini masyarakat yang menyatakan bahwa
pendidikan di sekolah gagal, karena sekolah tidak pernah memberikan pendidikan
karakter kepada peserta didiknya. Hal tersebut menyeret pemikiran pemerintah
pada arus opini masyarakat dengan fakta perilaku para pelajar di masyarkat.
Pemerintahpun berpikiran bahwa guru harus bertanggung jawab terhadap hal ini,
untuk itu di sekolah harus dibuat kurikulum untuk membentuk karakter peserta
didik. Pemerintah berpendapat seperti halnya masyarakat bahwa selama ini
sekolah telah mengabaikan pendidikan karakter. Sekolah terlalu fokus pada
peningkatan intelektualnya saja. Sehingga pada kurikulum 2013 ini pemerintah
menekankan pembentukan karakter anak dengan menyebut kurikulum 2013 sebagai
kurikulum karakter. Pemerintah lupa bahwa tugas guru adalah panggilan jiwa,
naluri hati. Guru bukan hanya mengajar materi pelajaran tetapi guru mengajarkan
tentang kehidupannya sendiri, mendidik peserta didik dalam berkehidupan. Justru
dengan adanya kebijakan pemerintah yang baru tersebut bukan merupakan solusi
bagi guru, yang terjadi adalah penambahan beban tugas guru dan guru merasa
selama ini hanya dijadikan yang harus bertanggung jawab penuh terhadap
keberhasilan generasi bangsa, guru merasa bahwa kebijakan pemerintah tersebut
terlalu linear kurang kompleks. Guru sudah apriori terhadap perubahan kuirkulum
yang hampir terjadi setiap tahun atau setiap pergantian menteri pendidikan.
Perubahan kurikulum tersebut selama ini penerapan di lapangan mengakibatkan
penambahan tugas administratif guru, sehingga waktu guru lebih banyak
dihabiskan untuk menyelesaikan tugas administratif sekolah yang merupakan
kewajibannya sebagai aparatur negara. Hampir setiap selesai mengajar guru harus
menyelesaikan tugas adminstratif, entah menyangkut tugas pokok dan fungsinya
maupun tugas administratif di luar tugas pokon dan fungsinya. Sehingga waktu
guru sehari-hari hanya habis digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas
administratif, sedangkan waktu yang harus digunakan untuk mendidik anak bangsa
sudah tidak ada lagi. Padahal jika pada saat guru tidak ada tugas mengajar,
guru dapat mengobservasi peserta didiknya baik melalui bincang-bincang santai
atau hanya sekedar ikut nimbrung dalam permainannya. Namun cara berfikir
pemerintah terlalu linear bahwa dengan adanya administratif yang baik maka
pekerjaan tersebut dinilai baik. Pemikiran inilah yang harus segera direvolusi.
Pemerintah harus memiliki pemikiran yang kompleks untuk menyelesaikan persoalan
pendidikan. Yang harus dipahami oleh pemerintah bahwa yang menempuh pendidikan
di sekolah adalah para manusia dan yang memberikan pendidikan juga manusia.
Bagaimanakah mencari solusi dari
persoalan stake holder pendidikan yang memiliki cara pandang yang berbeda tersebut?
SOLUSI
Guru, orang tua dan pemerintah adalah
stake holder pendidikan. Tiga komponen tersebut tidak dapat dipisahkan dan
harus saling terkait dan mendukung. Jika ketiga komponen memiliki cara pendang
yang berbeda terhadap pendidikan anak, maka yang terjadi adalah komponen
tersebut bekerja sendiri-sendiri sesuai dengan tugas masing-masing. Sehingga
ketiga komponen memiliki pendapat bahwa mereka bukan satu kesatuan tetapi
bebeda-beda dengan tugas, tujuan yang berbeda. Kalau hal ini dibiarkan
terus-menerus maka pendidikan di negeri ini akan semakin parah, generasi bangsa
ke depan akan menjadi generasi gelandangan yang hanya dapat memalak. Negara ini
akan berada pada masa yang lebih edan. Untuk itu tiga solusi alternatif yang
dapat saya ajukan adalah :
Kesatu,
Guru dan orang tua murid harus memiliki visi dan misi yang sama dalam
pendidikan anak. Dalam hal ini sekolah secara kontinu dan periodik mengadakan
pertemuan dengan orang tua murid untuk membicarakan pendidikan dan perkembangan
anak. Pertemuan sekolah dan orang tua murid dapat berupa menyampaikan
perkembangan anak, seminar/parenting pendidikan anak, atau konsultasi
permasalahan anak.
Kedua, orang
tua murid harus terlibat aktif dalam pertemuan dengan sekolah dengan selalu
hadir, mengikuti dan melaksanakan hal-hal yang didapat dari pertemuan di
sekolah. Jika ada permasalahan menyangkut perkembangan anak, orang tua murid
segera berkonsultasi dengan guru untuk bersama-sama mencari solusi dari
permasalahan tersebut. Solusi yang di dapat oleh orang tua murid dan guru dapat
dilaksanakan secara bersama-sama baik di lingkungan sekolah maupun di rumah.
Ketiga, Untuk menyelesaikan masalah karakter generasi
bangsa pemerintah seharusnya berpikir kompleks bukan linear yang hanya melihat
persoalan pada satu sisi. Sebenarnya pemerintah menyadari bahwa masalah
karakter bukan hanya masalah guru namun juga masalah masyarakat. Tetapi
pemerintah belum melakukan kebijakan yang bekaitan dengan masyarakat. Hingga
saat ini pemerintah hanya berorientasi pada kebijakan yang berhubungan dengan
sekolah. Seharusnya pemerintah juga memberikan edukasi kepada masyarakat untuk
membentuk generasi bangsa. Edukasi tersebut dapat dilakukan mulai dari tingkat
propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa sampai dengan tingkat RW/RT.
Edukasi tersebut dapat berupa penyuluhan, sebagaimana pernah dilakukan pada
zaman Pak Soeharto untuk menyukseskan gerakan KB (Keluarga Berencana). Gerakan
tersebut dapat diadopsi dengan mengubah menjadi gerakan KB (Karakter Bangsa).
Untuk melakukan hal ini pemerintah dapat menjalin kerjasama dengan Perguruan
Tinggi agar melibatkan mahasiswa untuk terjun di masyarakat. Seperi yang
dilakukan di Surabaya ini yaitu dengan melibatkan perguruan tinggi membentuk
CSR. Sedangkan di sekolah-sekolah di
samping adanya kebijakan aturan, pemerintah juga harus memberikan dukungan
sarana. Misalnya, menyediakan video-video motifasi, cerita orang-orang sukses,
cerita-cerita perjuangan dll. Jika hal ini dapat dilakukan insyaallah dalam
satu generasi akan terwujud generasi bangsa yang berkarakter baik. Memang harus
diakui semua ini membutuhkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Sanggupkah
negara kita ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar