URGENSI GURU MASA DEPAN
Membangun Generasi
Unggul dan Beradab
Oleh : HERI MURTOMO (Pendidik di Surabaya)
Ukuran keberhasilan peserta didik dapat dilihat dari
pertambahan pengetahuannya, peningkatan keterampilannya, dan kemuliaan
kepribadiannya. Disinilah peran guru harus menjadi role model (teladan), menjadi
pendengar yang baik. Kalau guru mengajar dengan hati, murid akan mendengarkan
dengan hati. Guru yang mengajar dengan cinta, murid pasti akan membalasnya
dengan cinta. Guru yang pandai menghargai murid, murid pasti menghargai guru. Inilah yang akan dibangun pada generasi mendatang(M. Nuh, Menyemai Kreator Peradaban, 2014)
Perilaku
generasi negeri ini pada akhir-akhir ini semakin menguatkan pandangan
masyarakat mengenai karakter anak bangsa yang telah mengalami degradasi mental,
spiritual, sikap, dan intelektual. Pendidikan dianggap telah gagal mendidik
anak bangsa, karena pendidikanlah salah satu solusi yang dapat menyelesaikan
persoalan membentuk karakter generasi bangsa. Pendidikan dipandang sebagai salah
satu pintu untuk membentuk karakter anak. Karena di dunia pendidikanlah
dianggap paling mudah membentuk dan memasukan unsur-unsur karakter kepribadian
yang baik ke dalam jiwa anak-anak. Dengan adanya kurikulum baru tahun 2013
diharapkan mampu memberikan solusi untuk membentuk karakter anak didik dan
menjadikan generasi unggul. Kurikulum ini oleh pencetusnya dinyatakan sebagai
kurikulum karakter karena 70% berisi tentang pembentukan karakter diri anak
didik. Salah satu yang melatar belakangi munculnya kurikulum 2013 adalah
lunturnya karakter anak bangsa Indonesia. Karakter anak bangsa saat ini oleh
sebagian besar masyarakat ditengarai sedang mengalami degradasi. Terbukti
semakin maraknya perilaku para pelajar yang dengan tanpa beban melanggar norma
agama dan norma negara, didukung perilaku para elite negara yang sudah sangat
banyak tertangkap basah melakukan tindak korupsi. Hal yang terjadi tersebut di
atas oleh masyarakat disebut sebagai hasil dari pendidikan di sekolah. Kondisi
seperti ini harus segera di atasi dengan salah satu cara adalah pendidikan
karakter bagi generasi bangsa. Pendidikan karakter memang sangat urgen bagi
bangsa ini karena masa depan bangsa terletak pada generasi saat ini. Jika
pendidikan di Indonesia tidak dapat membentuk karakter generasi yang baik maka
yang akan terjadi adalah kehancuran bangsa. Karakter yang baik, menurut John
Luther, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat
adalah anugerah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugerahkan kepada
kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit – dengan pikiran, pilihan,
keberanian, dan usaha keras (John Luther, dikutip dari Ratna Megawangi dalam
Adian Husaini, 2010). Karakter memang laksana “otot” yang memerlukan latihan
demi latihan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas kesehatan dan kekuatannya.
Karena itu, pendidikan karakter memerlukan proses pemahaman, penanaman nilai,
dan pembiasaan, sehingga seorang anak didik mencintai perbuatan baik. Contoh,
untuk mendidik agar anak mencintai kebersihan, maka harus dilakukan pembiasaan
hidup bersih dan diberikan pemahaman agar mereka mencintai kebersihan. Tentu,
ini adalah cara yang baik dan memerlukan kesabaran dalam pendidikan (Adian
Husaini, 2010).
Bahwa
karakter anak dapat dibentuk melalui pemahaman, penanaman nilai dan pembiasaan,
serta keteladanan maka hal yang paling mudah untuk memasukan unsur-unsur
tersebut adalah proses pendidikan. Dengan sistem yang terencana, aktivitas yang
terjadwal dan teratur serta komunitas anak yang seusia maka pendidikan karakter
akan lebih mudah dilakukan di sekolah. Guru sebagai pendidik tidak hanya
bertugas untuk memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya namun guru
harus dapat dijadikan teladan pembentukan karakter anak. Paradigma masyarakat
bahwa guru adalah orang yang memiliki keteladanan dan dapat menjadikan anak
didiknya untuk menjadi anak yang tumbuh dan kembang dengan karakter yang baik.
Masyakat sepenuhnya mempercayakan dan menumpukan hal ini kepada guru sehingga
kegagalan karakter anak bangsa merupakan kegagalan guru khususnya dan kegagalan
pendidikan di sekolah.
Hingga
saat ini dalam hidup dan kehidupan masyarakat, pendidikan karakter yang dipupuk
pada anak belum mampu menciptakan kehidupan yang bermoral. Untuk menciptakan
hidup dan kehidupan masyarakat yang bermoral bukan hanya sekedar membentuk
karakter anak, sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim maka bangsa ini
masih perlu membangun tidak sekedar karakter anak bangsa namun anak-anak bangsa
yang beradab sehingga menjadikan masyarakat yang beradab. Inilah pentingnya
pembentukan generasi yang bukan hanya berkarakter namun juga beradab. Bagi
Muslim, berkarakter saja tidaklah cukup. Beda antara Muslim dengan non-Muslim –
meskipun sama-sama berkarakter – adalah pada konsep adab. Yang diperlukan oleh
kaum Muslim Indonesia bukan hanya menjadi seorang yang berkarakter, tetapi
harus menjadi seorang yang berkarakter dan beradab. (Adian Husaini, 2010).
Pemahaman
dan pengakuan tentang adab inilah yang membedakan seorang Muslim yang
berkarakter dengan seorang komunis atau ateis yang berkarakter. Secara umum,
pendidikan karakter yang digalakkan oleh pemerintah adalah baik. Tetapi, orang
yang berkarakter saja, belum tentu beradab. Lihatlah, orang-orang Barat, banyak
yang sangat peduli dengan kebersihan dan kerja keras, tetapi mereka tidak
memandang jahat aktivitas bermabok-mabokan, bertelanjang, dan berbuat tidak
senonoh.
Pakar
filsafat Islam dan sejarah Melayu menjelaskan, bahwa, ”... adab itu
sesungguhnya suatu kelakuan yang harus diamalkan atau dilakukan terhadap diri,
dan yang berdasarkan pada ilmu, maka kelakuan atau amalan itu bukan sahaja
harus ditujukan kepada sesama insani, bahkan pada kenyataan makhluk jelata,
yang merupakan ma’lumat bagi ilmu.” (Syed Muhammad Naquib al-Attas, dalam Adian
Husaini, 2010).
Orang
beradab adalah yang dapat memahami dan mengakui sesuatu sesuai dengan harkat
dan martabat yang ditentukan oleh Allah (Adian Husaini, 2010). Dalam kaitannya
dengan pendidikan anak negeri ini maka di samping pembentukan karakter yang
lebih utama adalah membangun adab pada diri anak, sehingga anak dapat
mengaplikaiskan dalam kehidupan bermasyarakat. Jika kehidupan bermasyarakat
dibangun dengan menegakan adab maka kehidupan masyarakat menjadi bermoral dan
beradab. Di sekolah anak didik harus diberikan teladan dari hal-hal yang lebih
khusus tentang bagaimana menegakan adab. Sebagai seorang pendidik kita harus
memberikan pemahaman, penanaman nilai, pembiasaan, dan keteladanan tentang adab
yang berkaitan dengan ilmu, guru, dan diri anak didik tersebut. Dari sinilah
kita dapat mengetahui apakah proses pendidikan untuk menjadi generasi yang
unggul dan beradab sesuai dengan amanat tujuan pendidikan telah berhasil?.
Bagaimanakah cara agar tujuan pendidikan itu dapat tercapai?
Ukuran keberhasilan peserta didik dapat dilihat dari
pertambahan pengetahuannya, peningkatan keterampilannya, dan kemuliaan
kepribadiannya. Disinilah peran guru harus menjadi role model (teladan), mejadi
pendengar yang baik. Kalau guru mengajar dengan hati, murid akan mendengarkan
dengan hati. Guru yang mengajar dengan cinta, murid pasti akan membalasnya
dengan cinta. Guru yang pandai menghargai murid, murid pasti menghargai guru. Inilah
yang akan dibangun pada generasi mendatang(M. Nuh, Menyemai Kreator Peradaban,
2014). Seorang guru bukan hanya sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, namun
juga harus mendengarkan yang disampaiakn anak didiknya. Dalam proses pendidikan
seorang guru wajib memberikan ilmu kepada anak didiknya dengan hati dan dengan
cinta.
Jika di dalam diri anak didik sudah terbentuk dengan
karakter dan adab yang baik, maka anak didik dalam kehidupan bermasyarakat akan
menegakan moral dan adab. Namun harus diakui bahwa membentuk dan membangun anak
negeri yang memiliki adab bukanlah persoalan hanya seorang guru dan lembaga
pendidikan tapi ini adalah persoalan bersama masyarakat Indonesia. Untuk itu
pembentukan karakter dan adab anak bangsa seyogyanya dilakukan bersama-sama
antara orang tua sebagai masyarakat dan guru sebagai sekolah. Jika di sekolah
telah dibentuk lingkungan dengan karakter dan adab yang baik namun pihak orang
tua tidak mendukungnya justru melakukan tindakan yang bertentangan dengan yang
dilakukan sekolah yang terjadi adalah anak-anak bangsa akan menjadi anak-anak
yang membahayakan karena mereka terbiasa dibentuk dalam dua dunia yang berbeda,
di satu sisi memiliki perilaku dengan kebaikan namun di sisi lain perilakunya
bertentangan. Untuk menjadikan anak negeri ini menjadi anak yang menegakan adab
maka di negeri ini dibutuhkan guru-guru sejati. Mohammad Natsir dalam Adian
Husaini 2010, percaya betul dengan ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis: ”Suatu bangsa
tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka
berkorban untuk keperluan bangsanya.” Guru yang dimaksud Natsir bukan sekedar
“guru pengajar dalam kelas formal”. Guru adalah para pemimpin, orang tua, dan
juga pendidik. Guru adalah teladan. “Guru” adalah “digugu” (didengar) dan
“ditiru” (dicontoh). Jika dalam hidup dan kehidupan bermasyarakat sebagai orang
dewasa kita dapat memberikan teladan yang baik maka anak negeri ini akan
menjadi anak yang menegakan adab begitu sebaliknya. Pembentukan karakter dan
adab yang baik pada diri anak dibutuhkan keteladanan dari para pemimpin bangsa,
masyarakat, orang tua dan pendidik di sekolah.
Di dalam kitab karya KH. Hasyim Asy’ari berjudul Adab al-alim wa al-muta’allim fi ma
yahtaj ilaih al-muta’allim fi ahwal ta’limihi wa ma yatawaqaf ‘alaih
al-muta’allim fi maqamat ta’limihi sebelum memberikan ilmu kepada anak
didik harus seorang guru harus memiliki etika-etika yang harus ditegakkan
antara lain :
1. Etika
terhadap dirinya yaitu berhati-hati (wara’),
tidak mempunyai sikap tinggi hati tetapi tawadhu’, konsentrasi(khusyu’), tidak terlalu memanjakan
anak didik, tidak menyalahgunakan ilmu dengan cara menyombongkannya,
membiasakan diri menulis, mengarang, meringkas.
2. Etika
terhadap anak didik yaitu guru hendaknya memiliki keihlasan dalam mengajar,
memberikan motivasi, memberikan kemudahan dalam proses pembelajaran, memahami
kemampuan, dan memberikan latihan-latihan yang sifatnya membantu.
Dari pendapat di atas jika seorang guru
dapat melakukan hal-hal tersebut maka peserta didik yang diharapkan untuk
menjadi generasi yang unggul dan berakhlak baik akan terwujud.
Kisah David K. Hatch dalam everyday
greatness (2007). Konon seorang profesor meneliti sebuah kampung kumuh. Ia
berhipotesa bahwa anak yang hidup dikawasan yang kumuh hampir tidak ada yang
akan suskes, mereka akan menjadi sampah masyarakat. Setelah berjalan 25 tahun,
sang profesor kaget hasil surveinya bahwa dari 190 anak yang dulu diwawancarai
hanya 4 orang yang masuk penjara, semua hidup normal dan hidup berhasil di
berbagai bidang. Setelah dilakukan penelitian ulang, ternyata ada sebuah
fenomena yang membuat profesor itu sadar. Dia menduga ada sosok dalam hidup
mereka yang bisa mngubah kondisi umum ini. Hampir semua anak yang disurvei
mengingat sosok guru SMP meereka, Bu Chysan.
Sang profesor menanyakan ke Bu Chysan,
apa rahasianya bisa membawa perubahan hidup yang luar biasa bagi
murid-muirdnya, Ia pun menjawab “yang saya tahu, saya banyak mendidik mereka
dengan cinta, dan saya sangat mencintai mereka” (M. Nuh, Menyemai Kreator Peradaban,
2014).
Masih
menurut M. Nuh bahwa dari kisah tersebut : (i) guru harus menjadi pembelajar
sejati, (ii) guru harus bertanggung jawab terhadap materi yang diajarkan, (iii)
guru haruslah membangun jembatan rasa antara dirinya dengan murid-muridnya,
sehingga ada ikatan emosional.
Dari
sinilah dapat dipahami bahwasannya guru memiliki peranan yang penting dalam
proses pembentukan mental dan karakter generasi. Mungkin bagi seorang guru
tidak menyadari bahwa mereka adalah inspirasi bagi anak didiknya. Untuk itulah
diharapkan seorang guru harus dapat memberikan keteladanan dan mengajarkannya
dengan penuh cinta dan kasih sayang bagi anak didiknya karena setiap kalimat,
nasehat, dan peringatan yang disampaikan seorang guru secara tidak langsung
akan membentuk kerpibadian anak didiknya. Di masa inilah anak didik merasakan
kehausan akan kasih sayang dari seorang guru yang tulus yang mendidiknya dengan
hati dan cinta, mereka sangat menyadari akan kegersangan hatinya dan hanya
kepada gurunyalah mereka membuuthkan tuntunan.
Jika
seorang guru dapat melakukannya dan menerapkan pendapat para ahli di atas maka
proses pendidikan yang berlangsung akan dapat membentuk generasi yang unggul
dan berakhlak mulia. Bagaimana menurut saudara?