Kamis, 01 Mei 2014

MEMBENTUK KARAKTER, tugas siapa?



Edisi Khusus
Hari Pendidikan (21 Mei 2014)
MEMBENTUK KARAKTER, Tugas Siapa ?
Pada masa sekarang ini kita banyak disuguhkan perilaku para pelajar yang menyimpang dari norma masyarakat, norma agama, bahkan norma negara. Banyak kita baca dan kita dengar di media massa maupun media elektronik para pelajar yang melakukan tindakan tawuran antar geng, perampokan oleh pelajar, sex bebas, narkoba, bahkan curanmor. Zaman sekarang ini sudah dikatakan edan(jawa), kata pepatah jawa , yen ora ngedan ora keduman, becik-becike wong sih eling lan waspada. Melihat kenyataan seperti ini semua orang tua dan masyarakat maupun  pemerintah berpendapat bahwa para pelajar sekarang ini sudah tidak memiliki kepribadian, kesopanan, kedisiplinan, dan kejujuran yang baik, namun sudah terbentuk akhlak yang buruk. Para orang tua dan masyarakat lupa bahwa yang dilakukan oleh para pelajar dikarenakan para orang tua mereka atau panutan masyarakat, mereka telah memberikan contoh lewat perilaku mereka yaitu melakukan perampokan uang negara, sex bebas, curanmor dll. Orang tua, masyarakat dan pemerintah hanya melihat dari salah satu sisi, bahwa kenyataan tersebut disebabkan gagalnya proses pendidikan di sekolah. Orang tua dan masyarakat  beranggapan bahwa selama ini sekolah hanya memberikan materi-materi pelajaran untuk menghadapai Ujian Nasional atau Ujian tulis lainnya untuk mencapai nilai akademik yang memuaskan. Nilai akademik dianggap indikator strata sekolah, jika semakin tinggi nilai akademik sekolah maka sekolah tersebut masuk dalam strata/grade high, begitu juga sebaliknya. Pendapat masyarakat di atas ternyata tidak seluruhnya betul. Mendengar opini serta argumentasi yang disampaikan masyarakat mengenai hal tersebut mendekati kebenaran, akhirnya pemerintah justru ikut terseret dengan opini tersebut. Pemerintahpun mengambil kebijakan untuk memasukan Budi Pekerti kepada setiap mata pelajaran. Bahkan sejak kurikulum 1994 pemerintah memasukan pendidikan karakter untuk setiap mata pelajaran. Kebijakan ini di lakukan untuk menekankan pendidikan karakter di sekolah pada proses pendidikan sehingga harapan kelak akan terbentuk generasi yang berkarakter terpuji. Apa yang dilakukan pemerintah ini menunjukkan bahwa pemerintah semakin tidak paham dengan tugas guru sejati, sudah mulai ada ketidak percayaan kepada guru, dan yang lebih parah lagi hal ini sebenarnya hanya menambah beban administratif guru. Pemerintah lupa bahwa guru bukan hanya sekedar mengajar namun juga mendidik. Kedua hal ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, bagaikan satu mata uang. Pada saat guru sedang mengajar dan mendidik di dalam kelas sebenarnya yang sedang ia ajarkan adalah hidup sang guru itu sendiri. Palmer (1998); mengajar, sebagaimana kegiatan manusiawi lainnya, muncul dari kedalaman diri individu. Palmer (1998); pengajaran yang baik berasal dari identitas dan integritas sang guru. Dari opini masyarakat dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah membuat guru semakin pada posisi terjepit. Guru selama ini telah mendidik karakter yang baik kepada peserta didiknya. Dalam diri dan jiwa guru tidak ada guru yang membiarkan peserta didiknya akan menjadi sampah masyarakat, memiliki sifat tercela dan tidak berguna.
Bagaimana pendidikan karakter harus di bentuk pada diri peserta didik agar kelak menjadi generasi bangsa yang unggul dan berkarakter?
Masalah tersebut tidak dapat ditumpukan pada satu orang namun bergantung kolaborasi dari guru, orang tua/masyarakat dan pemerintah.

GURU
Pendidikan karakter pada dasarnya bukan memberikan materi ajar atau pelatihan namun pendidikan karakter adalah keteladanan dalam hidup dan kehidupan. Setelah memberikan keteladanan maka karakter tersebut akan menjadi kebiasaan sehingga akan terwujud budaya dalam peradaban masyarakat. Lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat maupun negara adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ketiganya harus saling mendukung, memberikan support untuk melaksanakan visi besar menjadikan generasi bangsa yang memiliki karakter terpuji.
Guru sebagai pendidik karakter di sekolah telah melakukan pendidikan karakter melalui keteladanan selama berada di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Keteladanan guru tersebut ditunjukkan dengan cara berbicara, berpakaian, menghargai orang lain, menerima pendapat orang lain, kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, sabar, dll. Karakter tersebut di samping ditunjukkan melalui keteladanan juga diterapkan dalam kehidupan di sekolah dan dalam proses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar bahkan guru mempraktikan melalui pembelajaran, bagaimana berdiskusi menghargai pendapat orang lain, bagaimana menghargai kekurangan orang lain, bagaimana berdemokrasi dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut hampir setiap hari dan setiap waktu guru memberikan keteladanan. Bahkan di dalam kehidupan sekolah guru sudah sangat menyadari dan memahami bahwa pembentukan karakter tidak dapat dilakukan hanya melalui paksaan, penjelasan, aturan-aturan belaka atau reward-reward sesaat, karena hal ini hanya melahirkan pemampatan batas-batas peranan, namun pembentukan karakter harus melalui keteladan, pembiasaan, praktik dalam kehidupan masyarakat kecil atau sekolah. Dengan hal begini maka dalam kehidupan masyarakat sekolah akan terbentuk budaya yang berkarakter.
Kenyataan yang terjadi di masyarakat apa yang telah dilakukan oleh guru di sekolah seakan-akan terpisah dengan apa yang dilakukan orang tua di rumah atau masyarakat yang lebih besar.
Bagaimana seharusnya orang tua melakukannya?
ORANG TUA
Keluarga atau orang tua serta saudara adalah lingkungan kecil yang memiliki peranan penting dalam pembentukan karakter anak selain di sekolah. Ibu, Ayah, Kakak atau saudara lainnya adalah contoh nyata di hadapan anak-anak yang secara tidak langsung ikut mempengaruhi kepribadiannya. Untuk itu pola kehidupan di rumah haruslah selaras dengan kehidupan di sekolah. Hal ini bukan berarti orang tua di rumah belum menerapkan atau memberikan keteladana kepada anak mengenai karakter yang terpuji. Namun masih banyak ditemui bahwa justru karakter buruk anak diperoleh dari rumahnya. Jika pembentukan karakter anak di rumah selaras dengan pembentukan karakter di sekolah maka anak akan merasakan bahwa kehidupan di sekolah merupakan bagian dari kehidupan di rumah begitu juga sebaliknya. Sekolah merupakan rumah keduanya begitu juga rumah merupakan sekolah bagi dirinya. Jika pembiasaan seperti ini berlangsung secara kontinu maka kepribadian anak akan terbentuk dengan baik. Namun tidak sedikit hubungan sekolah dengan rumah terputus. Yang terjadi adalah lingkungan sekolah bukan bagian dari lingkungan rumah, persepsi ini timbul pada diri anak karena merasakan perbedaan yang terjadi pada dua lingkungan tersebut. Suatu misal di rumah anak sering melihat kedua oarng tuanya bertengkar, mengeluarkan kata-kata kotor, sering menghakimi saudaranya, berlaku keras terhadap diri anak, memberikan perintah tanpa penjelasan, tidak pernah meminta pendapat anak bahkan yang lebih parah melihat orang tuanya berlaku menyimpang norma masyarkat, agama, dan negara. Bukan hanya sekedar itu orang tua tidak pernah ada waktu untuk sekedar menanyakan keadaan anak selama di sekolah, orang tua terlalu sibuk denga pekerjaanya, bagi yang berekonomi high sibuk dengan meetingnya, sedangkan bagi yang berekonomi sulit sibuk bekerja mencari sesuap nasi. Dari keadaan tersebut anak merasa bahwa dirinya seorang diri, tidak ada yang mau peduli, tidak ada yang dapat memberikan keteladanan di rumah, sehingga persepsi anak bahwa keteladanan di sekolah hanya sebatas kehidupan di sekolah sebagai pelajar setelah di luar sekolah terserah dirinya. Akhirnya yang terjadi anak berperilaku menyimpang norma masyarakat, agama, dan negara. Mereka mencari komunitas yang dapat menghargai, menerima dan mengayomi mereka selama di luar sekolah. Mereka memilih komunitas menurut kesenangan mereka tetapi tidak melihat bahwa komunitas yang dipilih adalah komunitas anak-anak yang berkarakter tidak terpuji.
Fenomena para pelajar tersebut membuat orang tua mereka menyalahkan sekolah yang selama ini para orang tua telah menyerahkan anak sepenuhnya kepada sekolah, orang tua beranggapan bahwa sekolah harus bisa mendidik anaknya menjadi baik karena sekolah bisa segalanya. Orang tua tidak mau dijadikan orang yang juga harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya, para orang tua sudah sibuk bekerja mencari uang. Sehingga setelah melihat kenyataan tersebut orang tuanya menyalahkan sepenuhnya kepada sekolah. Mendengar opini masyarakat tentang hal itu, pemerintah ikut terseret dengan opini tersebut. Akhirnya mengambil beberapa kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

PEMERINTAH
Fenomena perilaku pelajar di masyarkat yang semakin meresahkan ditambah dengan opini masyarakat yang menyatakan bahwa pendidikan di sekolah gagal, karena sekolah tidak pernah memberikan pendidikan karakter kepada peserta didiknya. Hal tersebut menyeret pemikiran pemerintah pada arus opini masyarakat dengan fakta perilaku para pelajar di masyarkat. Pemerintahpun berpikiran bahwa guru harus bertanggung jawab terhadap hal ini, untuk itu di sekolah harus dibuat kurikulum untuk membentuk karakter peserta didik. Pemerintah berpendapat seperti halnya masyarakat bahwa selama ini sekolah telah mengabaikan pendidikan karakter. Sekolah terlalu fokus pada peningkatan intelektualnya saja. Sehingga pada kurikulum 2013 ini pemerintah menekankan pembentukan karakter anak dengan menyebut kurikulum 2013 sebagai kurikulum karakter. Pemerintah lupa bahwa tugas guru adalah panggilan jiwa, naluri hati. Guru bukan hanya mengajar materi pelajaran tetapi guru mengajarkan tentang kehidupannya sendiri, mendidik peserta didik dalam berkehidupan. Justru dengan adanya kebijakan pemerintah yang baru tersebut bukan merupakan solusi bagi guru, yang terjadi adalah penambahan beban tugas guru dan guru merasa selama ini hanya dijadikan yang harus bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilan generasi bangsa, guru merasa bahwa kebijakan pemerintah tersebut terlalu linear kurang kompleks. Guru sudah apriori terhadap perubahan kuirkulum yang hampir terjadi setiap tahun atau setiap pergantian menteri pendidikan. Perubahan kurikulum tersebut selama ini penerapan di lapangan mengakibatkan penambahan tugas administratif guru, sehingga waktu guru lebih banyak dihabiskan untuk menyelesaikan tugas administratif sekolah yang merupakan kewajibannya sebagai aparatur negara. Hampir setiap selesai mengajar guru harus menyelesaikan tugas adminstratif, entah menyangkut tugas pokok dan fungsinya maupun tugas administratif di luar tugas pokon dan fungsinya. Sehingga waktu guru sehari-hari hanya habis digunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif, sedangkan waktu yang harus digunakan untuk mendidik anak bangsa sudah tidak ada lagi. Padahal jika pada saat guru tidak ada tugas mengajar, guru dapat mengobservasi peserta didiknya baik melalui bincang-bincang santai atau hanya sekedar ikut nimbrung dalam permainannya. Namun cara berfikir pemerintah terlalu linear bahwa dengan adanya administratif yang baik maka pekerjaan tersebut dinilai baik. Pemikiran inilah yang harus segera direvolusi. Pemerintah harus memiliki pemikiran yang kompleks untuk menyelesaikan persoalan pendidikan. Yang harus dipahami oleh pemerintah bahwa yang menempuh pendidikan di sekolah adalah para manusia dan yang memberikan pendidikan juga manusia.
Bagaimanakah mencari solusi dari persoalan stake holder pendidikan yang memiliki cara pandang yang berbeda tersebut?

SOLUSI
Guru, orang tua dan pemerintah adalah stake holder pendidikan. Tiga komponen tersebut tidak dapat dipisahkan dan harus saling terkait dan mendukung. Jika ketiga komponen memiliki cara pendang yang berbeda terhadap pendidikan anak, maka yang terjadi adalah komponen tersebut bekerja sendiri-sendiri sesuai dengan tugas masing-masing. Sehingga ketiga komponen memiliki pendapat bahwa mereka bukan satu kesatuan tetapi bebeda-beda dengan tugas, tujuan yang berbeda. Kalau hal ini dibiarkan terus-menerus maka pendidikan di negeri ini akan semakin parah, generasi bangsa ke depan akan menjadi generasi gelandangan yang hanya dapat memalak. Negara ini akan berada pada masa yang lebih edan. Untuk itu tiga solusi alternatif yang dapat saya ajukan adalah :
Kesatu, Guru dan orang tua murid harus memiliki visi dan misi yang sama dalam pendidikan anak. Dalam hal ini sekolah secara kontinu dan periodik mengadakan pertemuan dengan orang tua murid untuk membicarakan pendidikan dan perkembangan anak. Pertemuan sekolah dan orang tua murid dapat berupa menyampaikan perkembangan anak, seminar/parenting pendidikan anak, atau konsultasi permasalahan anak.
Kedua, orang tua murid harus terlibat aktif dalam pertemuan dengan sekolah dengan selalu hadir, mengikuti dan melaksanakan hal-hal yang didapat dari pertemuan di sekolah. Jika ada permasalahan menyangkut perkembangan anak, orang tua murid segera berkonsultasi dengan guru untuk bersama-sama mencari solusi dari permasalahan tersebut. Solusi yang di dapat oleh orang tua murid dan guru dapat dilaksanakan secara bersama-sama baik di lingkungan sekolah maupun di rumah.
Ketiga,  Untuk menyelesaikan masalah karakter generasi bangsa pemerintah seharusnya berpikir kompleks bukan linear yang hanya melihat persoalan pada satu sisi. Sebenarnya pemerintah menyadari bahwa masalah karakter bukan hanya masalah guru namun juga masalah masyarakat. Tetapi pemerintah belum melakukan kebijakan yang bekaitan dengan masyarakat. Hingga saat ini pemerintah hanya berorientasi pada kebijakan yang berhubungan dengan sekolah. Seharusnya pemerintah juga memberikan edukasi kepada masyarakat untuk membentuk generasi bangsa. Edukasi tersebut dapat dilakukan mulai dari tingkat propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan/desa sampai dengan tingkat RW/RT. Edukasi tersebut dapat berupa penyuluhan, sebagaimana pernah dilakukan pada zaman Pak Soeharto untuk menyukseskan gerakan KB (Keluarga Berencana). Gerakan tersebut dapat diadopsi dengan mengubah menjadi gerakan KB (Karakter Bangsa). Untuk melakukan hal ini pemerintah dapat menjalin kerjasama dengan Perguruan Tinggi agar melibatkan mahasiswa untuk terjun di masyarakat. Seperi yang dilakukan di Surabaya ini yaitu dengan melibatkan perguruan tinggi membentuk CSR.  Sedangkan di sekolah-sekolah di samping adanya kebijakan aturan, pemerintah juga harus memberikan dukungan sarana. Misalnya, menyediakan video-video motifasi, cerita orang-orang sukses, cerita-cerita perjuangan dll. Jika hal ini dapat dilakukan insyaallah dalam satu generasi akan terwujud generasi bangsa yang berkarakter baik. Memang harus diakui semua ini membutuhkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Sanggupkah negara kita ?